Maret 20, 2023
?>
mie lidi

Mie lidi, kuliner khas zaman SD di Malang (C) Cemilan Cemil Cemil

Pulang dari asrama di kampusnya, adik si penulis membawa sebuah kantong kresek hitam ukuran sedang. Saat dibuka ternyata isinya mie lidi, ingatan penulis langsung melayang kembali ke tahun 1998. Ya, kuliner legendaris itu yang menemani si penulis semasa duduk di bangku Sekolah Dasar.

Dulu, mie lidi (penulis menyebutnya mie biting) cukup populer di kalangan siswa Sekolah Dasar di Malang. Jam istirahat belum afdhol rasanya jika tidak diisi untuk memerahkan lidah dengan menyantap mie kering berbentuk tegak lurus seperti lidi itu.

Mie lidi dulu tidak banyak pilihan rasanya. Seingat penulis hanya ada dua varian, pilih rasa pedas atau rasa asin. Seiring perkembangan zaman, kini muncul mie lidi dengan berbagai rasa. Ada rasa BBQ, udang, pedas manis dan lain-lain.

Pada zaman penulis masih sekolah, mie lidi hanya dibandrol seharga Rp 100 per bungkusnya. Sehari penulis ikhlas menghabiskan uang saku yang kala itu hanya Rp 500 hanya untuk membeli mie lidi di seorang ibu paruh baya yang mangkal di depan pagar gerbang sekolah di jam-jam istirahat.

Popularitas mie lidi dulu sempat mengalahkan bermacam mainan murah yang ada di depan sekolah. Terbukti ibu paruh baya penjual mie lidi sering terlihat lebih sibuk melayani pembeli, termasuk penulis, ketimbang penjual mainan dan jajanan lainnya.

Bahkan, saking larisnya, akhirnya ibu paruh baya penjual mie lidi itu sampai mengajak asisten cewek yang sepertinya usianya tidak terpaut terlalu jauh di atas penulis yang waktu itu masih kelas 5 SD. Ternyata dia cucu si penjual mie lidi yang baru saja lulus SD, namun tidak melanjutkan ke SMP lantaran tidak punya cukup biaya.

Mie Lidi
Salah satu jajanan Mie Lidi yang dijual di Kaskus.co.id

Daripada nanti terlalu asyik menceritakan kisah yang terjadi antara penulis dan cucu si penjual mie lidi, mending kita balik ke topik. Singkat cerita, kepopuleran mie lidi memaksa si penjual tak hanya berjualan di jam istirahat saja. Dari pagi sebelum gerbang sekolah dibuka pun dia sudah hadir membawa stok mie lidi yang lebih banyak dari biasanya, agar bisa dijual hingga siang.

Kepopuleran mie lidi ini pun sempat memberangus kebiasaan penulis menabung uang saku di celengan ayam yang tersimpan di bawah kasur. Biasanya, penulis bisa menyisihkan uang saku yang hanya Rp 500. Pada masa itu, uang segitu sudah cukup banyak bagi seorang anak kelas 5 SD.

Biasanya, dari rumah, penulis selalu sarapan sekenyang mungkin, agar tidak jajan di sekolah. Namun, ketika mie lidi makin populer di sekolah, dan mungkin juga di sekolah-sekolah lainnya di Malang, penulis pun tak kuasa menahan godaan. Meski selalu sarapan, penulis tetap saja “kelaparan” dan ingin menikmati batang demi batang lezatnya mie lidi.

Penulis selalu tak tahan ketika melihat teman-teman yang menggigit mie lidi sebatang demi sebatang, atau menggigit semua batang langsung dari plastiknya. Apalagi kala itu ada kebiasaan menikmati bumbu mie lidi hingga “titik penghabisan”, dengan cara menghisap lubang plastik pembungkusnya hingga terbalik alias bagian dalam plastik tempat menempelnya bumbu (pedas atau asin) masuk ke mulut.

Kepopuleran mie lidi ternyata terdengar hingga ke kuping kepala sekolah. Pak Kepsek sempat meradang, lantaran dapat protes dari ibu kantin sekolah yang kehilangan pembeli lantaran teman-teman lebih memilih jajan mie lidi di luar. Alhasil, peraturan “dilarang jajan di luar pagar” pun diterapkan di sekolah.

Tak cukup sampai di situ, isu tak sedap pun juga sempat terhembus dari kalangan dewan guru. Banyak yang melarang para siswa mengkonsumsi mie lidi, karena disinyalir bumbunya mengandung bahan kimia berbahaya, MSG, dan minyak babi. Namanya juga anak-anak, semakin dilarang, rasa ingin tahu mereka semakin tinggi, sehingga isu itu pun tak mempan.

Aturan dan isu tak sedap itu tak menghalangi teman-teman dan penulis untuk terus menikmati mie lidi setiap hari. Buktinya, si ibu paruh baya penjual mie lidi masih bisa menerima pembeli melalui pagar sekolah yang memang memiliki celah untuk bertransaksi. Pulang sekolah pun dia tetap sibuk melayani pembeli.

Penulis sempat heran ketika mendapati makanan legendaris mie lidi masih diproduksi hingga sekarang. Karena penasaran, penulis pun berselancar di dunia maya menggali beberapa informasi tentang mie lidi. Mengejutkan, isu yang sempat disebarkan waktu SD dulu bukanlah isapan jempol semata. Bumbu mie lidi yang beredar tanpa pengawasan Depkes dan BPOM rawan mengandung bahan pewarna yang berbahaya untuk kesehatan.

Fakta ini menarik perhatian penulis untuk mencari tahu di mana tempat yang menjual mie lidi yang bebas dari bahan-bahan berbahaya. Penulis yakin pasti ada mie lidi yang terbuat dari bahan alami, terutama bumbunya. Keyakinan itu membawa penulis pada sebuah postingan bertanggal 26 November 2014 di blog Cemilan Cemal Cemil yang menjajakan mie lidi seperti yang dicari penulis via online.

Di blog tersebut tertera mie lidi yang mereka jual bebas pewarna dan bebas MSG, karena memakai cabe bubuk asli. Harga yang ditawarkan juga cukup terjangkau, yaitu Rp 10 ribu untuk paket 100 gram. Varian rasanya yang disediakan juga hanya dua, pedas dan asin, sama seperti rasa original semasa SD dulu. Tak sabar rasanya penulis untuk bernostalgia menilkmati kembali lezatnya mie lidi sambil bernostalgia ke zaman SD.

?>