Maret 31, 2023
?>
Candak-candakan sampai beratem

Candak-candakan sampai beratem

Jika Anda mengenyam bangku sekolah pada kurun waktu hingga tahun 2000-an awal, pasti masih ingat dengan tradisi candak-candakan. Seperti diketahui, candak-candakan merupakan sebuah tradisi unik di mana kita memanggil teman sekolah kita bukan dengan nama aslinya, melainkan nama orang tuanya.

Nama bapak lebih sering dijadikan objek tradisi candak-candakan ini. Meski demikian, tak menutup kemungkinan, nama ibu juga bisa dijadikan bahan. Tak peduli jenis kelaminnya, meskipun dia seoarng siswi, tak luput dari panggilan nama bapaknya. Begitu pula seorang siswa yang banyak juga dipanggil dengan nama ibunya.

Penulis sendiri sebenarnya juga tidak tahu asal mula tradisi candak-candakan ini. Namun diduga, tradisi yang berkembang di bangku sekolah ini terbawa dari pergaulan anak-anak perkotaan di Malang. Terbukti, kala itu, penulis yang merantau dari wilayah Kabupaten Malang dalam menuntut ilmu, baru mengetahui tradisi ini di bangku SMA yang kebetulan berada di Jalan Veteran. Sebelumnya, kala bersekolah di salah satu SMP Negeri di wilayah Kabupaten Malang, penulis tidak mendapati adanya tradisi candak-candakan ini. Namun, seorang teman penulis sempat bercerita bahwa di SMP-nya (yang ada di wilayah Kota Malang) sudah mengenal tradisi tersebut.

Dalam bahasa Jawa sendiri, candak atau nyandak bisa diartikan menyangkutpautkan atau menghubung-hubungkan dengan. Mungkin di sini maksudnya menghubungkan teman tersebut dengan orang tuanya karena memiliki kemiripan wajah atau perilaku.

Bila ditelusuri lebih lanjut, tradisi candak-candakan ini mungkin bermula dari adanya pribahasa ‘buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya’. Pasalnya, awalnya, tradisi nyandak nama orang tua ini terjadi lantaran di anak yang dicandak memiliki sifat dan karakter yang sama dengan orang tuanya (yang namanya disebut). Misalnya si Joni kesal pada Joko dan mengumpat, “Ancen anak’e Bambang,” (Dasar anaknya Bambang). Kalimat itu bermakna sindiran bahwa si Joko yang dicandak nama bapaknya itu memiliki sifat yang sama dengan bapaknya yang bernama Bambang. Dalam hal ini lebih condong pada sifat yang kurang bagus. Lambat laun, mungkin akhirnya teman-temannya terbiasa memanggilnya Bambang, ketimbang namanya sendiri, Joko.

Si anak yang dicandak nama orang tuanya, biasanya spontan membalas dengan nyandak nama orang tua teman-temannya itu. Malang bagi anak yang polos atau kebetulan belum mengetahui nama orang tua teman-temannya, karena dia bakal menjadi bulan-bulanan tanpa bisa membalas. Tak heran jika ada salah seorang teman penulis dulu yang hobinya nongkrongin ruang Tata Usaha (TU) hanya untuk memburu informasi nama orang tua teman-teman sekelasnya. Tak jarang yang mengincar buku Tatib (Tata Tertib) atau pun buku rapor, karena di sana juga biasanya tercantum nama orang tua atau wali murid.

Tradisi candak-candakan ini juga menuai pro-kontra di kalangan teman-teman penulis. Ada yang berpendapat, nama orang tua tidak seharusnya dipermainkan, apalagi dengan alasan untuk mem-bullly teman yang lain. Ada pula yang menganggapnya biasa, karena niatnya hanya bercanda dan untuk guyonan di sekolah. Sementara itu, penulis yang tadinya memang buta akan adanya tradisi ini sebelum merantau ke Kota Malang, mencoba berpikir positif. Penulis malah bangga ketika nama orang tuanya banyak diketahui atau disebut teman-temannya. Asal tidak sampai melecehkan, rasanya tidak masalah dan tidak ada yang perlu diperdebatkan.

Yang menjadi konyol, ketika penulis bertamu ke rumah teman yang bernama Joko tadi.

Penulis dkk: Permisi, Om.
Tuan rumah: Ya, cari siapa?
Penulis dkk: Bambangnya ada, Om?
Tuan rumah: Bambang? Ya, saya sendiri.
Penulis dkk: Loh??

Spontan kejadian tersebut bakalan bikin malu, lantaran penulis dan teman-temannya lebih ‘mengenal’ nama Bambang, sang bapak, ketimbang Joko, nama temannya sendiri. Dari situlah bisa diambil pelajaran, bahwa sebaiknya berhati-hatilah dan bisa menempatkan diri jika bercanda nyandak nama orang tua teman.

Terlepas dari pro-kontra yang beredar, setidaknnya tradisi candak-candakan ini sempat mewarnai masa-masa SMA penulis yang seorang perantau dari kabupaten ke Kota Malang. Apakah Anda memiliki pengalaman yang sama? Apakah tradisi tersebut masih menurun ke anak-anak SMA zaman sekarang? Entahlah, karena penulis tidak mengikuti perkembangan terbarunya.

?>