
Tayub di Balik Terbentuknya Kelurahan Kedungkandang - Tempo
Memang agak sulit untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai asal usul nama Kelurahan Kedungkandang, mengingat tidak adanya catatan maupun arsip-arsip. Namun demikian, di kalangan warga setempat beredar cerita rakyat yang hanya sekedar dijadikan pedoman terbentuknya kelurahan yang juga masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kedungkandang itu.
Pada zaman dahulu kala, di lereng Gunung Buring ada dua pedukuhan yang dikenal pada masa itu dengan sebutan Dukuh Amprong dan Dukuh Bango. Menurut cerita, nama-nama tersebut diambil dari dua buah nama sungai yang mengalir di tengah-tengah dukuh tersebut dan yang kita kenal sampai sekarang dengan sebutan sungai Amprong dan Bango.
Penduduknya yang masih sangat sedikit sekali, hidup rukun tentram damai serta diwarnai rasa persaudaraan, jiwa kegotong-royongan yang masih kuat. Tanahnya subur gemah ripah lojinawi. Keyakinan dan kepercayaan terhadap agama pun masih kuat. Sebagian besar dari mereka beragama Islam. Meski masyarakatnya agamis, namun peradabannya masih primitif, sederhana dan terbelakang. Tidak jarang dari mereka yang masih memiliki keyakinan terhadap benda-benda keramat seperti batu-batu dan kayu-kayu besar. Semua benda itu masih dianggap keramat, bisa mendatangkan keuntungan rejeki yang banyak dan bisa memperbaiki nasib mereka. Katanya!
Dengan adanya keterbelakangan tersebut, hal-hal berbau mistik dan tahayul pun masih sangat kuat dan dipercayai. Konon, menurut cerita-cerita orang tua dahulu, di bagian selatan pedukuhan tersebut, kira-kira dalam perjalanan satu hari jalan kaki, terdapat sebuah lokasi mistis.
Di sana terdapat beberapa Desa yang sangat luas sekali, namun kurang produktif untuk bercocok tanam. Karena tanahnya sangat kering, tanaman pun banyak yang mati kekeringan lantaran kekurangan air. Tanaman bisa tumbuh subur hanya saat musim penghujan saja. Sebaliknya, ketika musim kemarau tiba, jangankan untuk mengairi lahan atau tanamaan, untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan minum saja, air sangat sulit didapatkan. Hal tersebut sudah dialami dan dirasakan oleh warga setempat selama bertahun-tahun, bahkan mungkin hingga berabad-abad, sehingga penderitaan mereka pun tiada hentinya.
Berdasarkan pepatah bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasib mereka sendiri” akhirnya mengubah pola pikir warga setempat. Para petani bersama-sama sesepuh dusun, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat mengadakan pertemuan, musyawarah mencari jalan keluar bagaimana caranya untuk mendapatkan air.
Hasil musyawarah, kemudian disepakati bersama untuk mengajukan usulan kepada pemerintah, waktu itu pemerintahan masih dipegang oleh pemerintah Kolonial Belanda. Satu-satunya jalan untuk pengadaan aliran sungai kala itu memang ditangani oleh pemerintah. Perwakilan warga mengajukan usulan dengan hati was-was dan rasa takut. Maklum bangsa kita waktu itu merupakan bangsa yang bodoh dan tertindas oleh penjajah. Setelah dilaksanakan permohonan kepada pemerintah, permohonan tersebut tak disangka disanggupi dan diusahakan sesuai kemampuan, setelah melalui penelitian-penelitian dan lain sebagainya.
Meski telah disetujui pemerintah, bukan berarti upaya pengadaan air di kedua dukuh tersebut berjalan lancar. Waktu itu, pemerintah pun sangat kesulitan mencari jalan keluar. Setelah berhari-hari bahkan hingga berbulan-bulan, penelitian pemerintah soal dari mana air itu dapat disalurkan, akhirnya sampailah pada lembah Sungai Amprong dan Sungai Bango. Secara kebetulan, dua sungai tersebut lokasinya sangat berdekatan dan airnya pun sangat jernih.
Betapa terkejutnya perwakilan pemerintah Kolonial Belanda kala sampai di hulu sungai Amprong, lantaran di sana terdapat semacam waduk atau dalam bahasa Jawa disebut “kedung” yang sangat dalam sekali dan banyak dihuni bermacam-macam ikan. Di atasnya banyak ditumbuhi pepohonan yang besar-besar dan sangat rindang sekali. Hawannya pun cukup sejuk.
Menurut penelitian sementara, pemerintah Kolonial Belanda sangat kesulitan untuk mengalirkan sungai itu ke wilayah bagian selatan dua dukuh tersebut. Rapat darurat pun digelar, dan disepakati bahwa satu-satunya jalan keluar adalah harus membendung sungai (kedung) itu sebagai jalan keluarnya. Dengan mengerahkan tenaga manusia, termasuk warga setempat, akhirnya proyek tersebut terlaksana, meski memakan waktu yang sangat lama sekali.
Konon kabarnya, harapan masyarakat dan pemeritah untuk memiliki sumber air, tak kunjung menjadi kenyataan. Apa yang diupayakan pemerintah belum membuahkan hasil. Seringkali, setiap pekerjaan hampir selesai, selalu menemui kendala. Entah harus dibongkar total karena tidak mampu menahan besarnya arus sungai yang mengalir, atau malah sampai jebol, begitulah seterusnya. Akhirnya para tenaga pelaksana maupun pemerintah kala itu merasa putus asa dan menilai proyek bendungan itu tidak dapat dilanjutkan kembali mengingat tidak sedikit kerugian materi dan korban jiwa berjatuhan.
Menurut cerita para sesepuh desa, lokasi kedung tersebut sangat angker dan berbahaya. Banyak sekali makhluk halus yang bemukim di lokasi itu dan yang paling mengerikan si penjaga alias danyangnya tidak terima kalau proyek bendungan itu dilanjutkan. Mereka merasa dirugikan dengan adanya proyek tersebut. Jika dilanjutkan, kemungkinan korban jiwa pun akan lebih besar lagi dan tidak mungkin bisa dielakkan. Proyek bendungan itu bisa berhasil sesuai dengan harapan, asalkan warga harus memenuhi bermacam-macam persyaratan yang sangat berat dan tidak mungkin bisa dilaksanakan. Katanya!
Setelah bermacam-macam cara dan upaya ditempuh, untuk sementara proyek dihentikan beberapa bulan, bahkan sampai beberapa tahun lamanya. Upaya warga tak sampai di situ, bahkan tokoh masyarakat sebagian besar banyak yang berusaha untuk mencari jalan keluar.
Kebetulan di sekitar pedukuhan tersebut ada semacam perguruan yang dihuni oleh seorang kakek yang sangat sakti. Menurut penuturan warga setempat, diperkirakan kala itu usianya kurang lebih 157 tahunan. Entah dukun, ahli nujum atau alim ulama besar, namun di sini tidak dijelaskan secara detail. Yang jelas, ia adalah seorang yang sangat sakti dan dianggap bisa memberikan fatwa-fatwa atau meberikan petunjuk-petunjuk dan saran terhadap warga.
Dengan berduyun-duyun, warga mendatangi rumah kakek itu untuk mendaptkan saran atau petunjuk yang diperlukan. Warga pun menyarankan agar si kakek sakti diikutsertakan dalam pelaksanaan proyek bendungan.
Setelah menyanggupi apa yang menjadi permintaan warga, selang beberapa hari si kakek sakti mencari tempat yang dianggapnya keramat, jauh dari keramaian dan betul-betul angker yang diperkirakan dapat digunakan untuk besemedi memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widi.
Hal itu dilakukannya selama kurang lebih 40 hari dan 40 malam disertai puasa. Hampir setiap malam ia harus menerima bermacam-macam godaan dan cobaan, namun ia tetap tabah dan sabar meghadapi itu semua, hingga tiba lagi pada malam terakhir semedinya.
Dengan badan yang sangat lemah, kurus, muka pucat karna menahan bermacam-macam ujian, lapar, dahaga, dan sebagainya, akhirnya si kakek tak sadarkan diri, entah pingsan atau tertidur. Seorang kakek-kakek datang dengan keadaan setengah rambut putihnya terurai panjang sampai ke lutut, janggut putih panjang, kulit keriput, wajah pucat pasi dan membawa sebuah tongkat dari kayu bertangkaikan tanduk rusa, tangan kanannya memegang sebuah tasbih. Perlahan ia menghampiri sang pertapa sambil menyampaikan kata-kata yang sangat mendirikan bulu roma.
“Hai, cucuku. Bila kamu ingn apa yang menjadi harapanmu berhasil, kamu harus berani berkorban dan mempertanggung jawabkan dan di dalam kedung itu harus kamu beri tumbal seorang tandak!”
Kata-kata tersebut sangat mengagetkan sekali, bahkan diulang beberapa kali akhirnya pertapa tersebut bertanya-tanya dalam hatinya, pengorbanan apa sebenarnya yang harus saya lakukan, sedangkan hal itu menyangkut jiwa manusia. Selanjutnya, selama ia termenung, akhirnya ia mengerti apa yang dimaksud. Akan tetapi, ia masih ragu-ragu terhadap semua itu.
“Kamu harus berani mengorbankan satu jiwa seorang perempuan tukang tayub (bahasa Jawanya tandak), dimasukkan ke dalam kedung yang akan dibendung tadi, tanpa dipenuhi permintaan atau persyaratan tersebut, tidak akan behasil semua apa ang menjadi harapan masyarakat!” kata si kakek lagi.
Setelah si kakek tadi mengakhiri kata-katanya, si pertapa tersentak dari semedinya dan sangat keheranan darimana datangnya suara tadi. Ia pun pulang ke rumah, dan termenung sendirian memikirkan semua apa yang akan bakal terjadi di kampungnya bila hal tadi betul-betul dilaksanakan.
Si kakek pertapa mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama setempat untuk melaporkan dan menyampaikan hasil daripada semedinya. Selang beberapa hari, ia mendatangi kantor pemerintah Kolonial Belanda untuk melaporkan bahwa proyek tersebut bisa dilaksanakan lagi dan bisa berhasil dan sukses sesuai harapan bersama, asal harus didahului dengan mengadakan pertunjukan (royalan) di atas lokasi bendungan selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah disampaikan, pemerintah pun menyetujui semua persyaratan tadi. Lalu, si pertapa mohon diri dan berusaha mencari di mana ada perkumpulan tayub. Namun, rencana itu semua dirahasiakannya dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan pelaksanaan proyek bendungan.
Singkat cerita, terlaksanalah acara tersebut selama tujuh hari tujuh malam. Setelah sampai pada akhir atau puncak pertunjukkan, sedang enak-enaknya Gandang Sinamnya tandak, tanpa sadar tandak tadi dimasukkan ke dalam jurang kedung sekalian bersama alat gamelan. Begitu dimasukkan, serentak yang hadir waktu itu beramai-ramai menutup kedung trsebut, yang akhirnya terlaksana dan berhasillah proyek bendungan itu.
Setelah bendungan jadi, peresmian dan syukuran atas keberhasilan proyek tersebut pun digelar. Bendungan tersebut yang dikenal dengan nama saluran Sungai Amprong sampai sekarang. Sebelum acara ditutup, maka yang terakhir dibacakan adalah doa oleh tokoh agama. Dalam kesempatan itu, ia sekaligus memberikan nama kepada dua pedukuhan tadi menjadi satu desa.
“Wahai kaumku, sesuai hasil yang kita capai sekarang, maka tercapailah apa yang menjadi idaman-idaman kita bersama membuat bendungan ini, maka dengan demikian bila sewaktu-waktu nanti ramai-ramainya zaman, maka desa ini saya beri nama Kedung Gandang, yang artinya sebuah kedung yang ditanami seorang tandak sedang gandang (menari).
Selanjutnya, untuk mempermudah sebutannya maka Kedung Gandang ini dikenal dengan sebutan Kedungkandang. Demikianlah cerita singkat asal-usul terjadinya nama desa Kedungkandang sampai saat ini.