Maret 28, 2023
?>
Menelisik Jejak Sejarah Kelurahan Balearjosari - Worldmapz

Kantor Kelurahan Balearjosari - Worldmapz

Sejarah berdirinya Kelurahan Balearjosari ternyata masih ada kaitannya dengan kisah romantisme zaman kejayaan seperti Kanjuruhan, Singhasari, hingga Majapahit. Menarik untuk menelisik jejak sejarah kelurahan yang terletak di Kecamatan Blimbing ini lebih dalam lagi.

Meski tak ada sumber sejarah yang secara langsung memberitahukan mengenai keberadaan Kelurahan Balearjosari pada zaman dahulu, namun dalam kitab-kitab kuno telah dikenal sebuah wanua (satuan desa) dengan sebutan Panawijen. Wilayah Wanua Panawijen tersebut saat ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni Kelurahan Polowijen, Kelurahan Balearjosari dan Kelurahan Arjosari. Beberapa sumber sejarah yang dimaksud antara lain Prasasti Kanjuruhan B dan Kitab Pararaton.

Sumber informasi tertua yang menyebutkan tentang situs Panawijen adalah Prasasti Kanjuruhan B yang dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Mpu Sindok bertarikh Saka 865 (943 masehi). Di situ disebutkan bahwa Panawijen merupakan sima yang berupa sawah pegagan (sawah untuk tanaman padi gogo) yang terletak dalam Wateg Kanjuruhan. Tanah sima yang dimaksud tanah yang digunakan untuk pemujaan kepada Sang Hyang Rah Tha’. Sawah yang dihadiahkan oleh Wateg Kanjuruhan ini berukuran seluas 13 joong. Sementara itu, 2 joong di antaranya dipergunakan untuk penanaman padi gogo yang mendapat pasokan air dari saluran air (suekan).

Keberadaan tempat pemujaan terhadap sawah (parihiyangan) ini nampaknya terus berlanjut hingga masa Singhasari, bahkan sampai ke masa Majapahit. Hal ini dibuktikan dalam Kitab Pararaton yang menyinggung tentang keberadaan rukun keagamaan di Panawijen. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Panawijen merupakan tempat kediaman seorang pujangga pemeluk agama Budha Mahayana yang bernama Mpu Purwa. Berikut ini kutipan dari Kitab Pararaton yang telah dialihbahasakan.

(131) Semakin lama, Ken Arok semakin dikasihi oleh sang Akuwu. Begitupun sang pendeta. Tersebutlah, di Panawijen ada seorang pandai yang bertempat di sana. Ia seorang pujangga Budhastapaka yang bernama Mpu Purwa. Ia memiliki asrama dan murid-murid. Ajarannya menganut agama Budha Mahayana.

(132) Letak asrama tersebut di sebuah perladangan di gunung Panawijen. Mpu Purwa memiliki seorang anak gadis, yakni anak yang lahir sebelum ia menjadi seorang mahayana dan pendeta dulu. Nama gadis tersebut adalah Ken Dedes. Rupanya sangat cantik, kecantikannya boleh diibaratkan mengalahkan cahaya hyang sasadara atau rembulan.

(133) Akan kecantikannya itu memanglah telah terkenal dalam wilayah sebelah timur Gunung Kawi bahkan sampai di Tumapel. Tak ada seorang pun yang mampu menyamainya. Kabar berita itu semakin luas tersebar hingga akhirnya sampai di Istana Tumapel. Sang Akuwu segera hendak meyakinkan kabar tersebut. Maka Sang Akuwu Tunggul Ametung pun lalu pergi ke Panawijen.

(134) Ketika Akuwu tersebut tiba di asrama Mpu Purwa, waktu itu sang pendeta sedang tidak di tempat. Hanya Ken Dedes yang ditemuinya. Ketika Tunggul Ametung melihat kecantikan gadis itu, maka ia yakin bahwa Ken Dedes sangat cantik, bunga dari segala bunga di bumi ini. Apalagi waktu itu Ken Dedes sedang menginjak usia akil baliq.

(135) Tunggul Ametung menjadi sangat tertarik hatinya. Ia segera terbius asmara dan tak kuasa lagi menahan nafsunya, ibarat terlanda penyakit rindu. Maka si gadis dipaksanya dengan serta merta. Gadis itu menjerit dan minta tolong tatapi tak mampu melawan. Akhirnya ia dibawa pulang oleh Akuwu Tunggul Ametung.

(136) Ketika pendeta Mpu Purwa tiba di asramanya, ia segera mencari anak gadisnya tetapi tidak ditemukannya. Dalam hati ia telah menduga kalau anak gadisnya dilarikan orang. Maka Mpu Purwa dalam hatinya lalu menjadi murka dan ia mengeluarkan sumpah serapahnya.

(137) “Orang yang melarikan anak gadisku, semoga tak akan abadi berkasih-kasihan. Kebahagiaannya tentu akan segera hilang. Kuharapkan kematiannya ditikam keris dan menemui ajalnya. Dan orang-orang di sini akan kekeringan air”.

(138) “Sumur dan sumber air akan kering, mereka tak akan menemukan setetes air pun. Semua itu karena orang Panawijen berdosa padaku, mereka tak mau memberitahuku kalau anak gadisku dibawa orang. Semua itu tentu akan mereka alami. Aku berdoa dan bermohon kepada Tuhan”.

(139) “Bertemulah dengan keselamatan kiranya engkau orang yang mengajarkan ilmu, ilmu yang membuat terang dunia yang tentu akan dinikmati oleh anakku pula. Mudah-mudahan ia akan menemui kebahagiaan yang luhur. Inilah sumpah serapahku”.

Ada yang menarik dalam uraian di atas. Nama Wanua Panawijen tempat Mpu Purwa sejajar dengan nama Pawinihan dalam Tantu Panggelaran. Dalam Tantu Panggelaran, Pawinihan adalah nama tempat Dewa Brahma dan Dewa Wisnu menciptakan manusia laki-laki dan manusia perempuan yang pertama sebagai penghuni Pulau Jawa. Demikianlah menurut Tantu Panggelaran, manusia pertama di Pulau Jawa tinggal di Pawinihan. Kemudian mereka menyebar ke berbagai tempat lainnya.

Pawinihan sendiri berasal dari kata winih yang berarti benih, sedangkan Panawijen berasal dari kata wiji yang berarti benih juga. Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa wanua Panawijen sebagai tempat pemukiman, paling tidak sejak tahun 943 Masehi. Kala itu, Panawijen merupakan daerah perladangan untuk penanaman padi gogo yang statusnya sebagai sima (tanah yang diberikan keistimewaan bebas membayar pajak) yang diberikan oleh Wateg Kanjuruhan untuk pemujaan Parhiyangan.

Sejak musnahnya kekuasaan pemerintahan Kerajaan Majapahit, sekitar tahun 1520 M, semua daerah bawahan serentak melepaskan diri dan mendirikan pemerintahan sendiri, tidak terkecuali Malang. Malang jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung, sehingga pengaruh Mataram sangat besar di daerah Brang wetan (termasuk Malang). Pada masa inilah banyak tradisi adanya “Bedah Krawang” (pembukaan hutan atau babat alas) yang digunakan sebagai lahan tempat tinggal. Aksi ini dimotori oleh tokoh-tokoh berkharisma yang berasal dari wilayah Mataram Jawa Tengah. Polowijen misalnya, dibuka kembali oleh tokoh yang bernama Eyang Jibris yang berasal dari Demak. Daerah Kemirahan dibuka oleh Eyang Ronggo, daerah Dinoyo oleh Eyang Aji Singo Menggolo, daerah Klojen oleh Eyang Nolodremo, daerah Gribig oleh Aryo Pamucung/Ki Ageng Gribig, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan penuturan sesepuh desa, sebelum terbentuk menjadi desa atau kelurahan ada seorang bernama Kidang Layang yang berasal dari Madura datang menempati daerah tersebut. Karena daerah itu tandus, diceritakan Kidang Layang pun menanam pohon Asem dan menjadikannya sebagai pekarangan asem, sehingga pada akhirnya daerah tersebut dinamakan Karang Asem.

Selanjutnya, Kidang Layang berjalan ke arah timur dan bertemu dengan seseorang yang sama-sama berasal dari Madura yang mempunyai julukan Bindoro atau Kyai yang telah menetap dan mengajarkan ilmu agama Islam di daerah tersebut. Setelah beberapa lama menetap di sana, pada suatu waktu dirinya mendapati sebuah pohon cerme besar yang buahnya sangat lebat. Akhirnya oleh Kidang Layang daerah tersebut diberi nama Dusun Cerme.

Kidang Layang melanjutkan perjalanannya ke arah timur dan menemukan sebuah sumber mata air. Sumber mata air tersebut membuat warga masyarakat setempat senang, karena sering dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh Kidang Layang daerah tersebut dinamakan Sumbersuko.

Beberapa tahun kemudian Kidang Layang meninggal dunia dan dimakamkan di tempat semula ia pertama kali datang, yaitu di pekarangan asem atau disebut Karangasem. Ia dimakamkan di bawah sebuah pohon Bendo. Kala itu, di tempat pemakaman Kidang Layang dijadikan punden dan oleh masyarakat di sekitar pemakaman tersebut dibangun balai yang berfungsi sebagai tempat musyawarah masyarakat. Ada seorang tokoh masyarakat mengusulkan untuk menjadikan tempat-tempat yang telah disinggahi oleh Kidung Layang sebagai sebuah dusun, yaitu Dusun Karangasem, Dusun Cerme dan Dusun Sumbersuko dan masing-masing dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun yang biasanya sekaligus sesepuh atau tokoh masyarakat yang ditunjuk langsung oleh warga.

Seiring perkembangan zaman, dengan adanya pemerintahan Kabupaten di Malang, maka daerah Malang semakin ramai, begitu pula daerah sekitar Kali Mewek yang juga merupakan daerah Kabupaten Malang secara administratif masuk wilayah Kawedanan Singosari. Pembagian desa pun diperjelas, daerah sekitar Kali Mewek yang kecil menjadi pusat komunitas. Daerah yang kecil ini menjadi pemukiman (Bale) dan semakin ramai (Arjo) serta pusat dari pemukiman penduduk disekitarnya untuk bermukim (Sari). Sejak itulah daerah sekitar Kali Mewek tersebut lebih dikenal dengan sebutan Balearjosari.

Dengan adanya pembagian wilayah desa, maka Balearjosari menjadi desa yang berdiri sendiri. Batas-batasnya pun ditentukan menurut faktor alam yang membentuknya. Artinya, batas itu tidak dibuat kala itu juga, tetapi disesuaikan dengan batas yang sudah terbentuk sejak dahulu, seperti sungai Mewek, jalan Malang-Surabaya yang awalnya merupakan jalan kuno, Sungai Kalisari, dan sungai irigasi.

Cara menentukan batas-batas wilayah ini merupakan warisan dari sebuah sistem yang dulunya disebut sistem panyatur desa atau mancapat. Maksudnya, satu desa induk yang di sekitarnya terdapat desa-desa yang mengelilinginya.

Demikianlah sedikit cerita tentang jejak sejarah terbentuknya Kelurahan Balearjosari, yang hingga kini menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

?>