
Tradisi Takbiran (C) TRIBUNNEWS
“Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd,” begitu bunyi gema takbir yang dikumandangkan. Tradisi takbiran ini menjadi momen yang biasa ditunggu oleh umat Islam.
Tradisi takbiran sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dilakukan sebagai pertanda berakhirnya bulan suci Ramadan dan memasuki 1 Syawal yang diperingati sebagai Hari Raya Idul Fitri. Gema takbir sekaligus sebagai ucapan puji syukur atas terlaksananya puasa Ramadan selama sebulan penuh, sehingga layak menyambut hari yang fitri dengan gegap gempita.
Dulu, ketika penulis masih berusia SD (Sekolah Dasar), sekitar tahun 1996-an, tradisi takbiran menjadi saat-saat yang sangat ditunggu-tunggu. Pada H-1 lebaran, sejak sore hari selepas sholat Ashar, gema takbir sudah berkumandang dari masjid yang berada tepat di depan rumah. Anak-anak sebaya pun sudah mulai berhamburan ke masjid untuk ikut berpartisipasi.
Uniknya tradisi takbiran di Desa Jeru Timur, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, tempat penulis berdomisili, gema takbir selalu diiringi dengan musik tetabuhan yang berasal dari peralatan tradisional seperti beduk dan kentongan. Kala itu, tiap anak selalu berebut menjadi penabuh beduk dengan irama yang diciptakan masing-masing anak. Tak heran jika kami sampai memberlakukan sistem giliran per sepuluh menit sekali. Yang tak kebagian stik penabuh beduk pun mengalah dengan menabuh kentongan. Bahkan ada pula yang memanfaatkan alat-alat rumah tangga seperti panci, ember, galon air mineral, hingga gelas kaca yang dibawa dari rumah. Kala itu, penulis dan rekan-rekannya sudah seperti sebuah grup banda dadakan.
Tetabuhan yang mengiringi gema takbir yang dikumandangkan melalui speaker masjid ini biasanya berlangsung hingga waktu sholat Isya’ tiba. Selepas Isya’ biasanya ada tradisi takbiran keliling kampung dengan membawa obor dari bambu. Beduk dan kentongan pun kadang diikutsertakan dalam rombongan takbiran keliling dengan dinaikkan becak milik salah seorang warga.
Setelah puas berkeliling mengumandangkan takbir, penulis dan rekan-rekan kembali ke halaman masjid untuk melanjutkan kembali tetabuhan. Konsistensi ini bertahan hingga lepas tengah malam. Biasanya sekitar pukul 11.00 ada saja yang melambaikan tangan tanda menyerah karena mata sudah mengantuk. Sebagian anak-anak yang bertahan memilih menginap di masjid, termasuk penulis sendiri. Menariknya, selalu saja ada cerita mistis yang dialami salah seorang anak. Entah itu tiba-tiba sudah ada di tempat wudlu ketika bangun, atau yang tidak bisa tidur karena digoda oleh sosok penunggu masjid, dan lain-lain.
Sangat disayangkan, keseruan tradisi takbiran seperti demikian putus di generasi penulis. Di beberapa angkatan di bawah penulis, tradisi takbiran sudah mengalami beberapa pergeseran cara dan aktivitas. Meski takbiran keliling masih tetap dipertahankan oleh takmir masjid dan pengurus remaja masjid setempat, namun tak ada lagi keseruan berebut posisi sebagai pemukul beduk yang dulu dinilai penulis sebagai sesuatu yang sangat istimewa.
Mirisnya, masuknya pengaruh para penghobi miniatur truk ke kampung penulis, membuat anak-anak lebih tertarik berkonvoi menggunakan truk mini yang mengangkut sound sistem yang memekakan telinga. Karena konvoi takbiran keliling dengan menggunakan kendaraan bak terbuka seperti truk dan pikap sudah dilarang pemerintah dan kepolisian, maka truk-truk mini yang hanya butuh diseret ini cukup menjadi solusi. Sayang, kadang suara yang bergema pun tak lagi gema takbir, melainkan suara musik ajep-ajep yang jelas-jelas jauh dari nuansa Islami. Jadi kangen tradisi takbiran 20 tahun silam.