
Astronomi tidak melulu berbicara dengan hitungan angka dan imajinasi mitologi belaka. Dari astronomi juga bisa bercerita sejarah. Seperti pada kunjungan astronomi di candi Badut pada 27 Juli 2016 yang merupakan salah satu rangkaian acara 82 International NASE Astronomy Course di Malang, Jawa Timur. Materi tentang arkeoastronomi ini dituturkan oleh M. Dwi Cahyono, ahli sejarah Universitas Negeri Malang.
Sebetulnya, banyak sekali makna-makna ataupun pengetahuan yang bisa didapatkan dari bangunan bersejarah ini, termasuk salah satunya candi. Di Malang, ada sebuah candi tertua di Jawa yakni candi Badut yang terpengaruh dari budaya Hindu. Candi ini terletak di kawasan Tidar, Malang. Candi ini berada di belakang pemukiman warga. Sehingga dari jalan beraspal anda harus masuk sekitar 200 meter.
Alasan mengapa dinamakan ‘Badut’ ada tiga versi. Versi yang pertama yakni karena di area candi ini terdapat habitat pohon badut (jawa : wit badut). Yang kedua, diambil dari nama lain raja Gajayana, pendiri candi ini yaitu ‘sang liswa’ yang berarti orang komedi. Yang terakhir, diambil dari bahasa Sansekerta yakni ‘bha dyut‘ yang berarti bintang cemerlang.
Layaknya candi-candi lain, candi badut juga memiliki orientasi dan arah hadap. Kebanyakan dari kita, menganggap bahwa arah dan orientasi itu selalu tepat menghadap sisi mata angin. Namun, tidak demikian dengan candi Badut. Candi Badut memiliki orientasi yang sedikit bergeser yang menandakan ketika saat dibangun pada tahun 760 M ditepatkan menghadap ke bintang yang sedang bersinar cemerlang di langit.
Selain dengan berpatokan pada bintang yang cemerlang saat itu, orientasi pembangunan candi juga mengacu pada posisi gunung suci. Untuk candi Badut, gunung sucinya adalah Gunung Semeru yang terletak di Lumajang, Jawa Timur. Sehingga, candi Badut akan selalu tetap menghadap Mahameru.
Gaya bangunan candi ini seperti gaya bangunan yang ada di Jawa Tengah pada abad 7-10. Candi Badut memiliki lima bagian dari bawah ke atas yakni bhatur candi, kaki, tubuh, atap, dan kemuncak.
Kondisi bangunan candi ini sekarang memang tidak utuh lagi, namun bagian kemuncak masih ada. Bagian kemuncak ini tidak terpasang di posisi yang tertinggi dari candi Badut karena bagian atap tidak ditemukan. Sehingga, kita hanya bisa menyaksikannya di bagian kanan belakang area candi jika kita lihat dari gerbang masuk candi.
Sebetulnya, disini ada tiga candi kecil atau candi prawara yang saling berhadapan dengan satu induk yakni candi Badut itu sendiri.
Uniknya masing-masing detail bangunan candi memberi petunjuk tersendiri. Pada pipi tangga misalnya. Pipi tangga candi Badut ini bentuknya melengkung atau biasa disebut ikalemah, ini menunjukkan bahwa candi ini dibangun abad 7-10.
Di dinding luar dari pipi tangga ada relief yang berbentuk manusia setengah burung. Ada dua burung dibawahnya yakni kinara dan kinari yang berarti burung dari kahyangan.
Setelah menaiki tangga candi, ada seperti pintu masuk dengan kepala kala diatasnya. Uniknya, kepala kala ini tidak memiliki rahang bawah. Apa artinya? artinya adalah untuk menolak gangguan gaib atau seakan-akan gangguan gaib akan ditangkap alias dimakan oleh kepala kala. Jika kita melihat ke bagian bawah dari kepala kala tersebut, terdapat lengkungan keatas yang dinamakan kala makara. Kala makara ini menunjukkan kombinasi yang hadir pada abad 7-10.