Maret 31, 2023
?>

Tentara Indonesia memiliki pasukan bernama Brigade IV yang pernah ditugaskan menumpas pengacau di kawasan Malang dan sekitarnya pada tahun 1950. Pasukan ini terdiri dari tiga batalyon bersenjata.

Setelah dicapainya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang salah satunya berupa pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dengan melebur KNIL dengan TNI ke dalamnya, peleburan tersebut memposisikan TNI sebagai inti angkatan perang. Peleburan dan penggabungan inilah yang kemudian sangat menegangkan dan menimbulkan masalah psikologis bagi kedua belah pihak yang akan menjadi satu wadah dalam APRIS.

Suatu kenyataan historis tentang kedudukan TNI sebagai tentara pejuang berasal dari rakyat, berjuang bersama rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat. TNI yang telah berjuang tampa pamrih dan semata-mata hanya dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan serdadu KNIL terbentuk karena upah atau bayaran untuk mencari nafkah.

Hal yang ironis dalam proses penggabungan dan peleburan tersebut adalah bahwa di kalangan pejuang sendiri banyak yang terpaksa dikembalikan ke masyarakat karena tidak mungkin seluruhnya dapat ditampung dalam wadah APRIS. Hal-hal tersebut yang kemudian dapat mengancam keamanan. Apalagi pada saat itu masih terdapat tentara Belanda (KL) bersenjata di Indonesia yang menunggu penyelesaian administrasi serta adanya kelompok-kelompok bersenjata di luar APRIS.

Perasaan gelisah timbul di kalangan masyarakat karena sering terjadi insiden bersenjata antara pihak TNI dengan bekas KNIL. Di samping itu juga terganggunya keamanan yang dilakukan oleh Malik cs di daerah Pandaan dan sekitarnya. Seruan pemerintah agar senjata-senjata di luar APRIS diserahkan tidak ditaati oleh kelompok-kelompok tertentu, sehingga dianggap perlu untuk mengadakan tindakan pembersihan.

Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 1950 barulah diadakan gerakan pembersihan yang lebih terkoordinasi yang ditujukan kepada gerombolan bersenjata tertentu. Gerakan pembersihan ini diadakan di daerah Surabaya dan Malang. Kesatuan-kesatuan yang pada waktu itu beroperasi di Surabaya Kota di baeah pimpinan Komandan KMKB sebagai berikut:
1. Batalyon Soedjono
2. Batalyon Siswadi
3. Batalyon Soenandar
4. Kompi Matosim
5. Polisi Militer dan Mobile Brigade Polisi

Sedangkan untuk daerah Karesidenan Surabaya gerakan-gerakan pembersihan dilaksanakan oleh Brigade I dengan kekuatan sebagai berikut:
1. Batalyon Mochlas Rowi
2. Batalyon Soerachman
3. Batalyon Syaifudin
4. Batalyon Soenaryadi

Untuk Kota dan Karesidenan Malang gerakan pembersihan dilakukan oleh Brigade IV dengan kekuatan sebagai berikut:
1. Batalyon Soemitro
2. Batalyon Nailun Hamam
3. Batalyon Polisi Militer

Di samping itu juga dilaksanakan gerakan pembersihan oleh Brigade II dan III di daerahnya masing-masing untuk mencapai keamanan dan ketertiban wilayah. Banyak kekurangan yang dirasakan dalam operasi pembersihan itu, apalagi belum ada dukungan pemerintah pusat. Namun gerakan pembersihan berjalan lancar. Setelah tensi kejahatan menurun, kondisi dan situasi keamanan dirasakan cukup tenang dan mantap, Panglima Divisi I menyerahkan pemerintahan militer kepada sipil pada tanggal 7 September 1950. Lalu keamanan dan ketertiban masyarakat diserahkan ke pihak kepolisian. Kesempatan tersebut dipergunakan oleh pihak tentara untuk melaksanakan pelatihan demi meningkatkan kemampuan teknis militer.

Pada saat-saat awal memasuki tahun 1950 banyak terjadi gerakan pengacauan di Kota Malang. TNI menghadapi berbagai warna politik, baik Murba, PKI, mapun PSI yang sering mempergunakan kekuatan-kekuatan bersenjata untuk memperkeruh suasana. Pada salah satu kesempatan, Kapten Soemitro, Komandan Batalyon 30 yang kemudian berubah menjadi Batalyon 512 berhasil menangkap seorang tokoh gerakan pengacau bernama Hargo. Pada akhirnya diketahui bahwa ia menyimpan foto Kapten Soemitro. Tidak jelas apa maksud sesungguhnya dengan penyimpanan foto tersebut, tetapi diduga kuat sebagai alat untuk mempermudah mengidentifikasi jati diri Komandan Batalyon 30 tersebut sebagai sasaran pembunuhan. Kejadian-kejadian semacam ini sering menimpa Malang di saat-saat awal memasuki babak baru perjuangan sesudah melakukan Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Sumber: Keterangan Jenderal (Purn) Soemitro dalam Perjuangan Total Brigade IV

?>