April 2, 2023
?>
Ketika Kota Malang Dianggap Sosok Bayi Prematur

Ketika Kota Malang Dianggap Sosok Bayi Prematur

Lahirnya Kota Malang pada 1 April 1914 sempat dianggap terlalu cepat oleh beberapa kalangan. Bahkan, kelahiran itu diibaratkan sebagai sosok bayi prematur.

Sejarah mengatakan, saat ditetapkan sebagai kotapraja di tanggal tersebut di atas, Malang sebenarnya dinilai belum matang untuk dilahirkan. Sebab, pada saat itu Malang belum mempunyai dewan kota, dan belum punya burgemester (wali kota) sendiri. Bahkan, sampai tahun 1919 (nyaris lima tahun berselang), belum punya kantor pemerintahan (balai kota) dan belum punya beberapa fasilitas layaknya sebuah kota yang telah mandiri.

Sadisnya, jika diibaratkan seperti kelahiran seorang bayi, ibu bidan yang membantu persalinan belum datang, belum ada popok dan pakaian yang disiapkan, dan celakanya lagi, ketika suami sedang menjalankan dinas ke luar kota. Lengkaplah sudah. Silakan dibayangkan bagaimana rumitnya persalinannya itu. Hal tersebut terjadi lantaran kala itu Kawedanan Kotta (sebutan Kota Malang sebelum ‘merdeka’) terlalu cepat tumbuh berkembang setelah pada tahun 1905 ditetapkan menjadi ‘a full blown town’ alias kota yang dewasa. Bahkan, pertumbuhan kota ini dianggap melebihi daerah lain di Pulau Jawa, seperti yang dikutip dalam Gedenkbook Gemeente (1939).

Hal ini tentunya memaksa pemerintah Hindia-Belanda kala itu mau tidak mau, siap tidak siap, harus memerdekakan diri dari naungan Kabupaten Malang dengan menjalankan tugas pemerintahan sendiri. Menariknya, angka pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk, dan pertumbuhan ekonominya, semua bergerak dengan cepat. Munculnya sederetan nama bank, hotel, tempat hiburan (societeit), sekolah, rumah klinik di beberapa tempat, mungkin sudah cukup menjadi bukti.

Jika tidak segera dibentuk pemerintahan sendiri yang kredibel, maka akan menjadi permasalahan sosial yang sulit diatasi nantinya. Berdasar keputusan Instellings-Ordonnantie pada tahun 1914 Staatsblad Nomor 297, maka Malang ditetapkan menjadi gemeente (kotapraja). Tanggal penetapan itu kemudian diabadikan menjadi hari ulang tahun Kota Malang.

Pada awal tahun 1914, Kota Malang masih menjadi bagian dari Kabupaten Malang di bawah jajahan pemerintah Belanda. Secara administratif, Kabupaten Malang memiliki delapan distrik atau kawedanan. Mulai dari Kawedanan Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang (Ngantang), Turen, dan Kawedanan Kotta. Semantara itu, Kabupaten Malang sendiri merupakan bagian wilayah dari Karesidenan Pasuruan bersama Kabupaten Bangil dan Kabupaten Pasuruan berdasar (Staatsblad Nomor 6 Tahun 1819).

Kala itu, Kawedanan Kotta terdiri dari 13 kampoong, yakni Kidulpasar, Taloon (Talun), Kahooman (Kauman), Leddok, Padeyan, Klojen, Lor Alun, Gadang, Tameengoonhan (Temenggungan), Palleyan (Polean), Jodeepan (Jodipan), Kabalen dan Cooto Lawas (Kota Lama). Setelah zaman kebangkrutan VOC pada tahun 1800, Kabupaten Malang masih dianggap sebagai wilayah jajahan yang kurang menarik untuk ditinggali. Saat itu, pemerintah Belanda hanya menjadikan Malang sebagai daerah pertahanan (terugval basis) tanpa ada nilai ekonomis yang menjanjikan.

Malang akhirnya menjadi tempat favorit bagi Belanda setelah diberlakukannya Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet) pada 1870 yang memberikan kebebasan masyarakat luas untuk dapat menyewa lahan sampai dengan 75 tahun. Belanda kemudian menjadikan kota ini sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kala itu, kota baru ini menarik hati sebagian besar orang Belanda untuk berbondong-bondong datang ke Malang. Mereka kemudian menanam kopi dan suiker (gula tebu) untuk kebutuhan ekspor ke Eropa yang nilainya terbilang sangat tinggi.

Anggapan Malang sebagai kota yang penting mulai tumbuh. Malang semakin dilirik orang Belanda karena dianggap daerah yang subur, mempunyai udara sejuk dan mempunyai akses jalan utama ke pelabuhan Surabaya. Setelah adanya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada tahun 1903, yang kemudian ditetapkan pada 1905 yang berisi pemerintah pusat siap memberikan hak pemerintahan sendiri kepada karesidenan dan kabupaten (afdeling) yang diperintah oleh dewan wilayah (kabupaten) dan dewan kotapradja (gemeenteraad).

Sejak awal kelahirannya, Malang belum memiliki ketua dewan wilayah dan ketua dewan kotapradja. Saat itu, jabatan wali kota masih dirangkap oleh Asisten Residen F.L Broekveldt, kemudian digantikan oleh J.J. Coert hingga tahun 1919 dengan terpilihnya Mr. H.I. Bussemaker sebagai Wali Kota Malang yang pertama.

Sekadar untuk diketahui, prestasinya H.I. Bussemaker dalam membangun Kotapraja Malang setelah menjabat sebagai Wlikota Surabaya pada 1 Maret 1929 selama dua periode (1919-1929).

Sejatinya untuk ukuran kota yang baru didirikan, Kota Malang telah mencatat sebuah prestasi yang luar biasa. Dalam perjalanannya salama sembilan tahun, sejak diberlakukannya beberapa undang-undang, Kota Malang yang dulunya menjadi bagian dari Pasuruan, akhirnya menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur. Belum lagi beberapa prestasi di bidang lainnya. Namun demikian, ternyata perkembangan yang cukup pesat ini tidak lantas membuat pemerintah berpuas diri. Karena tingkat kemandirian di beberapa bidang, proses penetapan dalam sistem pengambilan keputusan masih bergantung pada rekomendasi pemerintah yang lebih tinggi.

Meskipun sama-sama orang Belanda, Wali Kota Malang didukung 40.000 orang penduduk (33.500 pribumi, 2.500 Belanda, dan 4.000 China, dan Arab) sangat berani untuk mengajukan beberapa hal yang kontroversial. Seperti melakukan reformasi pemerintahan (bestuurs-hervormings-ordonnantic, 1922) dari sistem desentralisasi menjadi dekonsentrasi yang memperoleh wewenang mengatur daerah lebih besar dan kotapraja (gemeente) diganti dengan staadsgemeente.

Pada saat Pulau Jawa dibagi menjadi 3 bagian, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Provincie-Ordonnantic Tahun 1926), Kota Malang menjadi pemimpin ibu kota Karesidenan, membawahi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.

?>