Maret 21, 2023
?>
Kota Malang Sempat Jadi Ibukota Jawa Timur (C) PINTEREST

Kota Malang Sempat Jadi Ibukota Jawa Timur (C) PINTEREST

Ibukota Jatim pernah pindah ke Malang, hal itu terjadi pada saat meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya.

Hingga 24 Desember 1949, Gubernur Jawa Timur beserta stafnya terpaksa pindah-pindah kantor ke berbagai tempat di luar kota Surabaya hingga 11 kali.

Saat perang 10 November 1945 pecah, seharian penuh pasukan Indonesia mempertahankan Kota Surabaya dengan gigih. Sementara itu rakyat berbondong-bondong mengungsi, kecuali para pemuda sipil yang turut berjuang. Ketika kedudukan Gubernur Jawa Timur, RMTA Suryo beserta stafnya benar-benar terdesak oleh serangan pasukan Belanda yang membonceng sekutu kala itu, mereka memindahkan pemerintahan ibukota Jatim ke luar kota Surabaya. Kota Malang menjadi kota keempat yang pernah menjadi ibukota darurat Jatim kala itu.

Sebelum pindah ke Kota Malang pada tahun 1947, ibukota Jatim pertama kali pindah dari Surabaya ke Sepanjang, Kewedanaan Taman, wilayah Kabupaten Sidoarjo.

Tak lama kemudian, ibukota Jatim dipindahkan lagi ke Mojokerto, lalu ke Kediri dan akhirnya ke Malang. Perpindahan ibukota dari satu tempat ke tempat lain, bahkan hingga ke pelosok Jatim ini semuanya sama sebabnya, yakni karena serangan tentara Belanda.

Setelah kembali terdesak oleh pasukan Belanda, pada tanggal 17 November 1945 kedudukan ibukota Jatim resmi pindah ke Kediri. Singkat cerita, setelah setahun ibukota Jatim berada dalam masa pengungsian, tanggal 15 November 1946 disetujuilah Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dengan pihak Belanda.

Meski demikian, Belanda tidak menepati isi perjanjian Linggarjati yang mengatur tentang gencatan senjata. Perjanjian ini dilanggar oleh pihak Belanda yang sesekali tetap melancarkan serangan ke Jatim, termasuk ke Kediri. Salah satunya serangan pada tanggal 14 Januari 1947, di mana Belanda melanggar batas wilayah yang sudah disepakati.

Kedudukan ibukota Provinsi Jawa Timur di Kediri pun mulai terancam. Serangan bersenjata dilancarkan pihak Belanda. Gubernur Suryo beserta stafnya akhirnya memutuskan kembali memindahkan pusat pemerintahan Jatim keempat kalinya. Kali ini mereka memilih Kota Malang, tepatnya pada Februari 1947.

Saat ibukota Jatim berada di Kota Malang, Pemerintah RI Pusat menunjuk Jawa Timur sebagai tuan rumah Rapat Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berlangsung pada 25 Februari 1947 hingga 6 Maret 1947. Acara ini cukup mampu menarik perhatian dunia luar, karena sempat ada beberapa wartawan luar negeri yang turut hadir meliput kegiatan Sidang Pleno KNIP ini.

Sidang Pleno KNIP di Kota Malang itu akhirnya membuahkan hasil akan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati pada 24 Maret 1947 di Jakarta oleh pihak Indonesia dan Belanda.

Hanya saja, pertempuran antara pasukan Belanda dan Tentara Republik Indonesia masih sering terjadi di beberapa titik di Jatim. Isi naskah Perjanjian Linggarjati yang sudah diparaf masih sering dilanggar oleh pihak Belanda. Mereka sering melancarkan serbuan ke wilayah pedalaman.

Salah satu akibatanya, pada bulan Maret 1947, Ibukota Keresidenan Surabaya yang dipimpin Residen Sudirman yang berkedudukan di Mojokerto terpaksa hijrah ke Jombang dan Walikota Surabaya Radjamin Nasution pindah ke Tulungagung.

Terhitung sejak 1 Juni 1947, Pemerintah RI Pusat menunjuk RP Soeroso sebagai Gubernur Jawa Timur menggantikan Gubernur Suryo. Penunjukan RP Soeroso ini rupanya mendapat reaksi keras rakyat Jawa Timur.

Pemerintah Pusat pun akhirnya membatalkan penunjukan itu dan secara resmi menetapkan dr. Moerdjani sebagai pengganti RMTA Suryo sebagai Gubernur Jatim yang kedudukannya di Malang. Sementara RMTA Suryo menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang berkedudukan di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Republik Indonesia.

Pihak Belanda benar-benar tidak menaati hasil Perjanjian Linggarjati. Mereka pun lantas menyerbu pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur di Kota Malang dengan pasukan militer bersenjata lengkap. Pertempuran dengan pasukan Indonesia kembali pecah.

Gubernur Moerdjani terpaksa mengungsi ke Kota Blitar. Dengan wilayah kekuasaan yang makin dipersempit oleh Belanda, ibukota Jatim pun kemudian berpindah-pindah secara berturut-turut ke lereng Gunung Wilis, Blitar Selatan, kembali ke Malang, lalu ke Jombang, Bojonegoro, Madiun dan Nganjuk. Baru setelah adanya penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949, ibukota Provinsi Jawa Timur kembali ke Kota Surabaya.

?>