April 2, 2023
?>
Desa Sindurejo Tumpang Pernah Jadi Ibukota Jawa Timur - YOURDESTINATION

Desa Sindurejo Tumpang Pernah Jadi Ibukota Jawa Timur - YOURDESTINATION

Sejak sehari setelah meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur itu harus tergusur ke luar kota. Hingga 24 Desember 1949, Gubernur Jawa Timur beserta stafnya terpaksa pindah-pindah kantor ke berbagai tempat di luar kota Surabaya hingga 11 kali. Pada saat pemerintahan darurat yang dijalankan Wakil Gubernur Samadikun, Pemerintah Provinsi Jatim sempat berpindah ke Desa Sindurejo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, pada tahun 1949.

Ketika pecah perang 10 November 1945, pasukan Indonesia mempertahankan Kota Surabaya seharian penuh dengan kegigihan yang luar biasa. Sementara itu rakyat berbondong-bondong mengungsi, kecuali para pemuda sipil yang ikut berjuang. Saat kedudukan Gubernur Jawa Timur, RMTA Suryo beserta stafnya benar-benar terdesak oleh serangan pasukan Belanda yang membonceng Sekutu kala itu, mereka memindahkan pemerintahan ibukota Jatim ke luar kota Surabaya. Kota Malang sempat menjadi kota keempat yang pernah menjadi ibukota darurat Jatim kala itu.

Sebelum pindah ke Malang pada tahun 1947, Pemerintah Provinsi Jatim sempat pindah ke Sepanjang, Kewedanaan Taman, wilayah Kabupaten Sidoarjo, lalu ke Mojokerto, dan Kediri. Perpindahan ibukota dari satu tempat ke tempat lain, bahkan hingga ke pelosok Jatim ini semuanya sama sebabnya, yaitu karena terdesak oleh serangan tentara Belanda.

Singkat cerita, setelah setahun ibukota Jatim berada dalam masa pengungsian, tanggal 15 November 1946 dibuatlah Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dengan pihak Belanda. Meski demikian, Belanda mengingkari isi perjanjian tersebut yang mengatur tentang gencatan senjata. Perjanjian ini dilanggar oleh Belanda yang sesekali tetap meyerang ke Jatim, termasuk ke Kediri, pada 14 Januari 1947. Hingga pada akhirnya kedudukan ibukota Provinsi Jawa Timur terpaksa dipindahkan ke Kota Malang di bawah pimpinan Gubernur Suryo beserta stafnya, tepatnya pada Februari 1947.

Terhitung sejak 1 Juni 1947, Pemerintah RI Pusat menunjuk RP Soeroso sebagai Gubernur Jawa Timur menggantikan Gubernur Suryo. Penunjukan ini rupanya mendapat reaksi keras rakyat Jawa Timur. Pemerintah Pusat pun akhirnya membatalkan penunjukan itu dan memilih dr. Moerdjani sebagai pengganti RMTA Suryo sebagai Gubernur Jatim yang kedudukannya di Malang. Meski sudah ada Perjanjian Linggarjati, Belanda tetap saja melancarkan serangannya, sehingga Gubernur Moerdjani terpaksa mengungsi ke Kota Blitar setelah terjadinya Agresi Militer I.

Dalam aksi militer ini pasukan Belanda berhasil menduduki beberapa kota di wilayah kekuasaan RI. Aksi Militer I berakhir setelah Persetujuan Renvile tanggal 17 Januari 1948. Akibat perjanjian itu, wilayah Jawa Timur makin sempit, yakni hanya meliputi Keresidenan Madiun, Kediri, Bojonegoro dan sebagi Keresiden Surabaya dan Keresidenan Malang. Mereka kemudian segera membentuk negara bagian, seperti NIT di wilayah yang sudah dikuasai. Dua negara boneka itu adalah Negara Jawa Timur yang berdiri berdasarkan Konferensi Bondowoso dengan ibukota Surabaya pada 26 November 1948 dan Negara Madura dengan ibukota Pamekasan pada 20 Februari 1948.

Di samping Gubernur Sipil yang dipimpin dr. Moerdjani, pemerintah RI juga menetapkan Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Situasi ini, ternyata dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mengadudomba kedudukan pemerintahan RI, termasuk di wilayah Jatim. Belanda kemudian melancarkan serangan bernama Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Mereka menyerang dan berhasil menduduki ibukota RI di Yogjakarta. Bahkan Belanda mampu menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta beberapa pejabat pemerintahan RI.

Di Jatim, Agresi Militer II ini membuat kedudukan Gubernur Jawa Timur terdesak, setelah pada 21 Desember 1948 Belanda berhasil menduduki Kota Blitar yang menjadi tempat Pemprov menjalankan roda pemerintahan. Gubernur Moerdjani bersama stafnya terpaksa menyingkir ke sebuah desa di lereng Gunung Wilis. Dari lereng Gunung Wilis yang dijadikan sebagai ibukota Jawa Timur dalam pengungsian yang ke-enam ini, Gubernur Moerdjani berkoordinasi dengan Gubernur Militer Kolonel Soengkono mengendalikan pemerintahan Jawa Timur.

Belanda rupanya tak puas, dan terus memburu pemerintahan darurat Pemprov Jatim yang sudah mengungsi ke lereng Gunung Wilis. Mereka menyerang lokasi tersebut dan menangkap Gubernur Moerdjani dan Wakil Gubernur Doel Arnowo, serta beberapa pejabat Pemprov Jatim, lantas membawa mereka ke Surabaya dan menawan mereka di Hotel Sarkies, di Jalan Embong Malang Surabaya.

Gubernur Militer Kolonel Soengkono segera bertindak untuk mengatasi kekosongan kekuasaan di Pemprov Jatim. Ia menugaskan Wakil Gubernur Militer saat itu, Samadikun meneruskan perjuangan dari Lodoyo, Blitar Selatan. Bersama Bupati Blitar Darmadi, Samadikun menjadikan Lodoyo sebagai ibukota darurat Jawa Timur ke-tujuh.

PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat memberikan istruksi kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jawa Timur pada 15 Maret 1949. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) PDRI Mr. Soesanto Tirtoprodjo, mengirim delegasi A. Gapar Wirjosoedibjo menemui Wagub Samadikun. Ia memberi tugas istimewa kepada Samadikun untuk berkeliling Jawa Timur. Tujuannya untuk mengadakan hubungan langsung dengan para residen yang ada di wilayah Jatim.

Wagub Samadikun memulai melaksanakan tugas istimewa itu dengan menyusuri jalan-jalan desa dan gunung. Sampai pada akhirnya Samadikun berhasil menemui Residen Malang, R. Aboebakar Kartowinoto di Desa Sindurejo, Tumpang, Malang. Koordinasi untuk membuat Jawa Timur tetap solid mereka lakukan.

Setelah menghabiskan waktu di pelosok Malang, Samadikun melanjutkan perjalanan dari Desa Sindurejo, Tumpang ke karesidenan selanjutnya, yaitu Jombang, Bojonegoro, Madiun, Besuki dan diakhiri di Kediri. Tugas istimewa dari Mendagri PDRI, Mr. Soesanto Tirtoprodjo untuk menjalankan roda pemerintahan Jatim dengan bergerilya berpindah-pindah itu akhirnya sukses ditunaikan Samadikun.

Wagub Samadikun menuliskan hasil pertemuan dengan seluruh Residen di Jatim itu dalam laporan khusus yang diberi nama “Djungkring Salaka” yang tertanggal 22 Mei 1949. Laporan itu dikirim kepada Mendagri PDRI Mr. Soesanto Tirtoprodjo ke kediamannya di Desa Nglorok, Pacitan oleh Bupati Madiun Pamoedji pada 27 Mei 1949.

Setelah empat tahun ibukota Provinsi Jawa Timur mengungsi dengan berpindah-pindah di 11 tempat di beberapa desa, kabupaten dan kota di Jawa Timur, maka tanggal 24 Desember 1949, secara resmi ibukota Jatim kembali ke Kota Surabaya. Menurut mantan pejabat Pemprov Jatim, Ir. Oerip Soedarman, dapat disebut sebagai ibukota Jawa Timur.

Tiga hari kemudian, tepatnya 27 Desember 1949, seluruh wilayah Republik Indonesia, kecuali Irian Barat atau Irian Jaya, diserahkan kedaulatannya oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal itu sekaligus menandai dihapuskannya Pemerintahan Militer di Jawa Timur dengan Gubernur Militer Kolonel Soengkono yang dinyatakan berdasarkan Perintah Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 30 Mei 1950 No.338/KSAD/1 H.50 dan Keputusan Menteri Partahanan tanggal 1 Agustus 1950 No.357/MP/50. Keputusan itu membuat segala urusan pemerintahan dan keamanan diserahkan kepada Gubernur Jatim Samadikun.

?>