Maret 27, 2023
?>
Gereja Kayutangan, Saksi Eksistensi Umat Katolik di Malang (C) @lingkarmalang

Gereja Kayutangan, Saksi Eksistensi Umat Katolik di Malang (C) @lingkarmalang

Sejak era penjajahan Belanda, eksistensi umat Katolik di Kota Malang sudah diakui. Bukti kuatnya tentu keberadaan Gereja Kayutangan sebagai salah satu saksi bisu.

Sejak era penjajahan Belanda, eksistensi umat Katolik di Kota Malang sudah diakui. Bukti kuatnya tentu keberadaan Gereja Kayutangan sebagai salah satu saksi bisu.

Memiliki nama resmi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, gereja ini merupakan salah satu gereja tertua di Kota Malang selain GPIB Immanuel. Sesuai dengan nama julukannya, Gereja Kayutangan terletak di daerah Kayutangan, salah satu kawasan paling bersejarah di kota tersebut. Tentu saja, banyak kisah atau peristiwa bersejarah yang mengiringi perjalanan tahun demi tahun eksistensi gereja tersebut, beserta umat pemeluk agama Katolik yang menghidupinya.

Mengingat usianya yang berdiri sejak tahun 1905, bangunan ini memiliki ciri khas arsitektur neo-gothic, seperti kebanyakan gereja di Eropa yang sedang menjadi trend kala itu. Tak heran pula jika bangunan gereja ini memiliki daya tarik bagi umat Katolik dari berbagai daerah di tanah air, bahkan para turis mancanegara yang tengah plesiran ke Kota Malang ini.

Gereja kayutangan ini sebenarnya secara tidak langsung juga memiliki hubungan erat dengan sejarah perkembangan arsitektur era Kolonial Hindia-Belanda di Indonesia. Gereja ini termasuk golongan bangunan yang dibangun oleh arsitek ternama Belanda antara tahun 1900-1915, sehingga masih satu golongan dengan bangunan Javasche Bank yang sekarang menjadi Bank Indonesia yang didirikan pada tahun 1914 dan Palace Hotel yang sekarang menjadi Hotel Pelangi yang dibangun pada tahun 1916.

Arsitek yang merancang Gereja Kayutangan ini adalah Marius J. Hulswit yang termasuk seorang pelopor arsitektur colonial modern di Hindia-Belanda sesudah tahun 1900. Hulswit sendiri adalah murid seorang arsitek Neo-gothik di Belanda, maka tak heran jika Gereja Kayutangan memiliki gaya arsitektur Neo-gothik.

Meski tak semegah bangunan gereja neo-gothik lain yang ada di Eropa, Gereja Kayutangan ini tetap mempunyai karakteristik kuat yang sengaja diciptakan sang arsitek, seperti halnya gereja-gereja neo-gothik lainnya. Hal ini terlihat pada struktur gedung yang tinggi dengan kerangka kokoh pada dinding dan atap yang berfungsi sebagai penutup. Gereja ini memiliki jendela dan pintu yang besar pada dinding yang dibangun dengan konstruksi skelet. Hal itu tampak pada tembok luar gereja yang ditopang tiang penyangga dinding berbentuk persegi.

Menariknya, denah Gereja Kayutangan tidak berbentuk salib seperti pada umumnya gereja bergaya Gothic. Sebab, atapnya tidak terlalu tinggi, sehingga tidak ada penyangga yang sering disebut Fliying Buttress. Karena denahnya berbentuk kotak, gereja ini juga tidak memiliki ruang yang disebut double aisle atau nave seperti layaknya gereja-gereja Gothic. Gereja ini memiliki tangga untuk naik ke lantai dua yang tidak penuh pada bagian depan sebelah kiri dan kanan. Pada kedua tangga inilah dibuat dua tower atau menara yang biasa terlihat di gereja-gereja bergaya neo-gothic.

Altar di dalam gereja ini dirancang sendiri oleh Halswit. Altar tersebut terbuat dari kayu yang dipesan dari tukang kayu Cina di Surabaya, namun sejak tahun 1965 sudah tidak dipakai lagi hingga kini.

Ciri yang lain dari gereja ini adalah bangunan dengan konsep yang membiarkan agar cahaya dari luar bisa masuk dalam gedung dengan leluasa. Hal ini konon dilandasi oleh paham bahwa Tuhan hadir di mana saja seperti cahaya. Tak heran jika di dalam gereja ini dipakai kaca bergambar yang disebut stained glass sebagai pencerahan mistik, yang merupakan sumbangan terindah gaya Gotik terhadap konsep cahaya tersebut.

Siapa sangka jika ternyata ciri khas Gothic pada lengkungan yang meruncing gereja itu ternyata dipengaruhi unsur Islami. Uniknya lagi, dalam kapel gereja terdapat banyak benda kuno, termasuk adanya Al Quran asal Tunisia yang merupakan peninggalan tahun 1920-an.

Nilai historis Gereja Kayutangan tak bisa dilepaskan dari eksistensi umat Katolik sejak masa kolonial Belanda di Malang. Salah satunya yaitu kehadiran Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) yang dipimpin Romo Godefriedus Daniel Augustinus Jonckbloet, sejak tahun 1907. Awalnya, paroki itu belum punya gereja sendiri dan harus menumpang di Pendopo Kabupaten Malang untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Saat itu, pendopo memiliki fungsi ganda sebagai gereja Katolik lengkap dengan orgel, kamar pengakuan dosa, mimbar dan bangku komuni.

Jika berkunjung ke Gereja Kayutangan ini, Anda bisa membaca tulisan batu murer di dalamnya. Tertulis dalam Bahasa Belanda yang jika diterjemahkan mempunyai arti “Gereja ini dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus, didirikan berkat kemurahan hati dari Yang Mulia Monseigneur ES Luypen, dirancang oleh arsitek MJ. Hulswit dan semasa penggembalaan yang terhormat Romo GDA Joncbloet dan Romo FB. Meurs pada tahun 1905 telah diberkati oleh YM. Monseigneur Edmundus Sijbrandus Luypen, uskup Tituler dari Orope, Vikaris Apostolik dari Batavia”.

Seluruh sejarah Gereja Kayutangan tercatat dengan lengkap di dalam buku kenangan perayaan 100 tahun paroki HKY Kayutangan. Hingga saat ini, gereja Katolik tersebut masih berdiri kokoh menantang perkembangan Kota Malang yang semakin menggila. Seiring berjalannya waktu, gereja yang beralamatkan di Jalan Mgr. Soegijopranoto No. 2 ini menjadi ikon tersendiri bagi Kota Malang.

?>