Maret 24, 2023
?>
Bouwplan I yang menyasar kawasan Celaket

Bouwplan I yang menyasar kawasan Celaket

Pembangunan perumahan menjadi masalah yang harus dihadapi Gemeente (Pemerintah Kota) sejak berdirinya Kota Malang pada tahun 1914. Saat itu banyak permintaan akan tanah bagi perumahan warga Eropa. Inilah yang melatarbelakangi Rencana Pengembangan Kota Malang Tahap 1 (Bouwplan I) pada tahun 1916.

Pihak Gemeente memahami bahwa dengan cara spekulasi tanah dan pembangunan asal-asalan akan mengakibatkan perkembangan kota yang tidak berimbang. Kemungkinan terburuk nantinya bentuk kota menjadi tidak ekonomis, yakni berbentuk ramping dan memanjang ke arah utara. Pihak Gemeente harus mengendalikan pertumbuhan tersebut, agar pertumbuhan kota dapat dijaga dengan baik. Salah satu usaha yang dilakukan Gemeente adalah dengan mendirikan perusahaan pertanahan, yang selama beberapa tahun membeli sawah-sawah yang dimiliki secara komunal yang terletak di tengah kota. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga spekulasi tanah dan mengendalikan pertumbuhan kota. Gemeente Malang juga mengeluarkan delapan rencana perluasan untuk mengendalikan bentuk kota pada Tahun 1917 sampai 1929. Untuk sementara, spekulasi tanah yang dikhawatirkan sebelumnya sudah dapat diatasi.

Gemeente lebih banyak meningkatkan sarana dan prasarana kotanya pada tahun 1914-1916. Misalnya, membuka penyediaan air bersih, perusahaan listrik, dan lain-lain untuk warga Kota Malang pada 1 Agustus 1915. Lalu membuka Javasche Bank pada tanggal 1 Desember 1915 yang pada waktu itu merupakan bank satu-satunya di Malang, yang berada di sebelah utara Alun-alun. Dibuka juga sebuah hotel besar di sebelah tenggara alun-alun sebagai pengganti Hotel Jansen & Jensen yang dinamakan Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi) pada tahun 1915, yang membuat suasana di sekitar Alun-alun sebagai pusat Kota Malang menjadi semakin ramai.

Perusahaan pertanahan yang sudah didirikan membuat Gemeente dengan mudah mengontrol perkembangan kota. Perencanaan kota dengan kebutuhan luas tanah yang dikehendaki mudah dilaksanakan. Dalam rapat Dewan Kota (Gemeenteraad) pada tanggal 13 April 1916, diputuskan untuk membangun perumahan bagi golongan orang Eropa di daerah antara Tjelaket dan Rampal. Langkah ini diambil untuk mengatasi perkembangan kota yang semakin menjurus ke arah utara sepanjang jalan menuju Surabaya. Rencana tersebut kemudian dikenal sebagai rencana Bouwplan I.

Rencana Pengembangan Kota Malang I (Bouwplan I) ini dilaksanakan mulai tanggal 18 Mei 1917 dengan luas areal 12.939 meter persegi. Daerah perumahan baru untuk golongan orang Eropa tersebut dinamakan sebagai Oranjebuurt (Daerah Oranye). Proses pembangunan hanya membutuhkan waktu sembilan bulan saja, karena tanggal 21 Februari 1918 daerah tersebut sudah mulai dihuni. Daerah Oranjebuurt tersebut memakai nama-nama jalan dengan nama-nama anggota keluarga kerajaan Belanda. Seperti Wilhelmina straat (sekarang Jl. Dr Cipto), Juliana straat (sekarang Jl. RA Kartini), Emma straat (sekarang Jl. dr Sutomo), Willem straat (sekarang Jl. Diponegoro), Maurits straat (sekarang Jl. MH Thamrin), dan Sophia straat (sekarang Jl. Cokroaminoto).

Karena letaknya yang sangat strategis waktu itu, daerah yang terletak antara Jalan Tjelaket dengan Jalan Rampal tersebut cepat terisi oleh perumahan orang Eropa. Disebut strtaegis karena letaknya yang dekat dengan rel kereta api yang akan memasuki Kota Malang di Jalan Stasiun (Stasiun Weg) dan Jalan poros utama Malang-Surabaya.

Efek pertama Bouwplan I ini adalah mengubah batas Kota Malang. Sungai Brantas yang sebelumnya merupakan batas Kota Malang paling timur, dalam program perluasan kota ini justru menjadi bagian dari Kota Malang itu sendiri. Sungai Brantas mengalir dari arah utara menuju selatan di tengah kota, dan bukan lagi merupakan batas kota. Gagasan menjadikan Sungai Brantas sebagai bagian dari suatu lanskap kota berasal dari Ir. Herman Karsten. Pada tahun 1917, ia memang masih belum menjadi penasihat perencana Kota Malang secara resmi, tetapi Gemeente kala itu sudah memintanya turut membantu menyumbangkan pemikirannya. Pasalnya, kala itu cuma Karsten satu-satunya orang yang dipandang ahli dalam perencanaan kota.

?>