April 2, 2023
?>
PS Ardjoena dulu terkenal kerap melakoni laga uji coba dengan tujuan amal atau sosial (C) VAMOS AREMA

PS Ardjoena dulu terkenal kerap melakoni laga uji coba dengan tujuan amal atau sosial (C) VAMOS AREMA

Jauh sebelum Arema lahir sebagai klub sepakbola kebanggaan Aremania, Malang Raya memiliki klub sepak bola legendaris bernama PS Ardjoena. Klub sepak bola dari Malang ini tenar di masa penjajahan Belada hingga Jepang.

Pada zaman dahulu, pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan sepak bola untuk mempertegas politik segregrasi rasial, karena memang perkumpulan-perkumpulan sepak bola didirikan berdasarkan ras. Orang-orang berkulit putih melakukan kegiatan sepak bolanya di bawah naungan Netherland Indie Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1936 berubah nama menjadi Netherland Indie Voetbal Unie (NIVU). Sementara itu, orang-orang Tionghoa bernaung di bawah Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) dan golongan Bumiputra (pribumi) memakai Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai media perjuangannya.

Dukut Iman Widodo dalam karyanya yang berjudul Malang Tempoe Doeloe menjelaskan bahwa perkumpulan-perkumpulan sepak bola mulai menjamur di Malang pada kurun tahun 1920-an. Pada waktu itu dominasi orang Eropa di persepakbolaan Malang sangat kental. Beberapa perkumpulan sepak bola yang ada pada saat itu antara lain Vitesee, Sparta, Stormvoger, Corientians sebagai wakil Eropa. Hwa Tjiao Nien Hwee (HTTNH) merupakan klub sepak bola milik warga Tionghoa di Malang, sedangkan warga Arab membentuk klub Al-Badhar.

Dilansir dari Vamos Arema, saat itu, Malang punya Malang Vooruit (Malang Maju). Pada masa itu penggunaan nama dengan Bahasa Belanda bagi perkumpulan Bumiputra adalah hal wajar, dan baru berubah pada kurun waktu 1930-an akibat dari semangat kebangsaan pada sepak bola setelah berdirinya PSSI.

Di antara sekian banyak perkumpulan sepak bola yang ada di Malang, ada salah satu nama yang menonjol, yakni PS Ardjoena. Kemungkinan perkumpulan ini didirikan oleh para pemuda Bumiputra yang tinggal di kawasan Ardjoenastraat (sekarang Jalan Arjuna). Pada perkembangannya, terdapat pula perkumpulan sepak bola yang berorientasi organisasi keagamaan, yaitu Persatuan Sepak Bola Hisbut Wathan.

Layaknya perkumpulan sepak bola para pribumi lainnya, PS Ardjoena tidak didukung oleh kemampuan finansial yang cukup memadai. Namun, mereka mempunyai semangat yang besar untuk ikut menunjukkan eksistensi diri. Yang paling utama, klub sepak bola ini menjadi identitas perlawanan atas kejumawaan perkumpulan sepak bola milik orang Eropa. Hal tersebut juga banyak dijumpai di wilayah lainnya, seperti yang terjadi di Surabaya di mana Soerabaja Indonesia Voetbal Bond (SIVB) yang pada tahun 1935 menjadi Persebaya Surabaya yang menjadi simbol perlawanan terhadap Soerabajasche Voetbal Bond (SVB) yang dimiliki orang Eropa.

Tak hanya terkenal ketangguhannya, PS Ardjoena pun tenar sebagai klub yang doyan melakoni laga uji coba yang bertujuan untuk amal atau sosial. Seperti yang terjadi pada tahun 1942 saat mereka diundang oleh Gemeente Surabaya untuk menjalani pertandingan yang hasilnya disumbangkan untuk pegawai pensiunan Gemeente Surabaya. Pada pertandingan itu PS Ardjoena harus berhadapan dengan salah satu klub tenar di Surabaya, yaitu Tionghoa Surabaya, serta kesebelasan pegawai Gemeente Surabaya. Tionghoa Surabaya adalah salah satu perkumpulan sepak bola Tionghoa terbaik pada masanya. Tercatat sejak tahun 1916 hingga 1936 Tionghoa Surabaya sukses sepuluh kali menjuarai kompetisi sepak bola Tionghoa di Pulau Jawa.

Pada pertandingan pertama, PS Ardjoena harus berhadapan dengan Tionghoa Surabaya. Pertandingan yang dihelat pada sore hari tanggal 1 Agustus itu berlangsung di Stadion Tambaksari Surabaya. Pertandingan berjalan lambat hingga babak pertama berakhir keduanya belum berhasil mencetak gol. Di babak kedua, pertandingan berlangsung lebih menarik. Kedua tim masing-masing berhasil menciptakan satu gol dengan hasil akhir sama kuat 1-1. Kemudian pertandingan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2 x 7 menit. Pada masa itu, masing-masing tim berhasil menambah satu gol. Karena setelah perpanjangan waktu pertandingan masih imbang 2-2, maka untuk menentukan pemenangnya harus ditentukan dengan tendangan penalti masing-masing lima tendangan. Akhirnya PS Ardjoena harus mengakui keunggulan Tionghoa Surabaya dengan skor 4-3.

Sementara itu, di pertandingan kedua yang dihelat sehari kemudian mempertemukan PS Ardjoena dengan para pegawai Gementee Surabaya yang diperkuat pula oleh Dr. Nawir. Karena stamina pemain PS Ardjoena sudah terkuras pada pertandingan pertama, maka mereka menyerah dengan hasil kekalahan 5-1. Pada pertandingan ini berhasil dikumpulkan dana sebanyak 601 f dan hasilnya disumbangkan untuk pensiunan pegawai Gemeente Surabaya.

Kiprah PS Ardjoena dalam laga amal berlanjut ketika klub HBS Surabaya datang ke Malang dalam rangka pertandingan amal pada bulan September 1942. Pertandingan melawan PS Ardjoena itu dilaksanakan selama dua hari, yaitu pada tanggal 5 dan 6. Pada hari pertama, HBS menghadapi kesebelasan Tionghoa, sedangkan di hari kedua PS Ardjoena akan menantang HBS. Hasil penjualan tiket pertandingan ini seluruhnya disumbangkan untuk membantu para orang miskin yang ada di Malang.

PS Ardjoena kembali melakukan pertandingan amal. Selain dua pertandingan di atas PS Ardjoena juga melakukan pertandingan persahabatan yang hasilnya ditujukan pada para korban banjir. Pertandingan tersebut dilangsungkan pada tanggal 26-27 Desember 1942 serta 2-3 Januari 1943.

Dilansir dari laman yang sama, pemain-pemain yang sempat memperkuat PS Ardjoena pada kurun waktu tahun 1942-1944 antara lain Siswari (penjaga gawang), Sapari, Moen (belakang), Oesman, Djuri, Soeparmo, Soegondo, Oentoeng, Imam (tengah), Soelimin, dan Djajadi (depan).

Kehebatan para pemain PS Ardjoena terlihat dari prestasi membanggakan dua pemainnya, Sapari dan Djuri yang terpilih dalam tim yang akan mewakili Malang dalam kejuaraan yang diselenggarakan oleh Tai Iku Kai.

?>