April 2, 2023
?>
Alun-alun Tugu sebagai hasil dari Bouwplan II (C) IWANTANTOMI

Alun-alun Tugu sebagai hasil dari Bouwplan II (C) IWANTANTOMI

Pada masa awal berubahnya status Malang menjadi Kotapraja, 1 April 1914, bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda totok dari Eropa. Generasi baru orang Belanda ini ingin memberi kesan agar kota lebih bercorak Barat. Inilah yang melatarbelakangi Rencana Pengembangan Kota Malang Tahap II (Bouwplan II) pada tahun 1920.

Pada masa awal berubahnya status Malang menjadi Kotapraja, 1 April 1914, bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda totok dari Eropa. Generasi baru orang Belanda ini ingin memberi kesan agar kota lebih bercorak Barat. Inilah yang melatarbelakangi Rencana Pengembangan Kota Malang Tahap II (Bouwplan II) pada tahun 1920.

Para pendatang itu menghendaki pusat pemerintahan kota yang semula ada di Alun-alun Merdeka dipindahkan ke tempat lain, sehingga harus diciptakan pusat pemerintahan kota yang baru. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Desentralisasi tahun 1905. Alun-alun sebagai pusat kota yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pemerintahan dianggap sebagai simbol dari sistem pemerintahan lama yang berbau Indisch.

Alasan tersebut mendorong Gemeente (Pemkot) Malang membuat rencana perluasan kota kedua (Bouwplan II) yang diputuskan oleh Dewan Kota pada tanggal 20 April 1920 (Staadsgemeente Malang 1914-1939). Daerah tersebut dinamakan sebagai Gouverneur-Generaalbuurt dengan luas 15.547 meter persegi. Rencana itu baru direalisasikan dua tahun kemudian.

Sebagai daerah pusat pemerintahan yang baru, perluasan Bouwplan II ini direncanakan dengan baik. Daerah ini yang kini dikenal dengan sebutan Alun-alun Bunder atau Tugu. Disebut demikian karena intinya berupa lapangan terbuka yang berbentuk bundar dengan tugu di tengahnya. Di sekitar Alun-alun Bunder tersebut kemudian dibangunlah berbagai bangunan resmi dan monumental, seperti Gedung Balaikota Malang, Hotel Splendid, sekolah HBS/AMS (sekarang SMA Negeri Tugu), rumah tinggal panglima militer dan sebagainya. Lingkungan tersebut kemudian terkenal sebagai ikon Kota Malang kini.

Lingkungan baru tersebut terletak di sebelah timur Sungai Brantas yang membuat sungai yang awalnya sebagai batas paling timur kota akhirnya berada di tengah kota setelah adanya Bouwplan II. Maksud Karsten, yang masih dipercaya sebagai konseptor perluasan wilayah ini, untuk menjadikan Sungai Brantas sebagai bagian dari lanskap kota tampaknya perlahan mulai menjadi kenyataan.

Bouwplan itu membuat Kota Malang kini mempunyai dua daerah yang menjadi pusat kota dan pusat pemerintahan sendiri-sendiri. Pertama adalah Alun-alun Merdeka sebagai pusat kotasedangkan daerah sekitar Alun-alun Bunder menjadi pusat pemerintahan kota yang baru yang dibangun sejak tahun 1922.

Karsten sempat mengkhawatirkan terpisahnya pusat kota dengan pusat pemerintahan itu akan menimbulkan perpecahan di Kota Malang. Kemudian, dilakukanlah upaya untuk menghubungkan kedua alun-alun ini demi menghindari adanya kesan dua pusat pada satu kota. Sayang sekali, fakta mengatakan bahwa usaha tersebut tampaknya kurang berhasil, karena dari Alun-alun Bunder ke Alun-alun kota atau sebaliknya tidak bisa ditempuh secara langsung dalam satu jalur. Dari Alun-alun Bunder orang harus melalui Riebeeckstraat (sekarang Jalan Kahuripan) dahulu, kemudian ke Jalan Kayutangan, barulah sampai ke Alun-alun Kota. Jalan yang kedua lewat Maetsuckerstraat (sekarang Jalan Tumapel) melewati sebuah jembatan kecil kemudian baru sampai ke Alun-alun Kota. Hubungan kedua pusat kota yang ‘buruk’ ini hingga kini memang belum bisa terpecahkan.

Kembali ke daerah Gouverneur-Generaalbuurt sebagai hasil nyata dari Bouwplan II, jalan-jalannya memakai nama gubernur jendral pada masa Hindia Belanda yang terkenal, seperti Daendels Boulevard (sekarang Jalan Kertanegara), Van Imhoff straat (sekarang Jalan Gajahmada), Speelman straat (sekarang Jalan Mojopahit), Maetsuucker straat (sekarang Jalan Tumapel), Riebeeck straat (sekarang Jalan Kahuripan), Van Oudthoorn straat (sekarang Jalan Brawijaya), Idenburg straat (sekarang Jalan Suropati), Van den Bosch straat (sekarang Jalan Sultan Agung), Van Heutz straat (sekarang Jalan Pajajaran), dan van der Capellen straat (sekarang Jalan Sriwijaya). Sedangkan Alun-alun Bundernya sendiri pada waktu itu dinamakan sebagai Jan Pietersoon Coen Plein (sekarang menjadi Alun-alun Tugu). Pada sekitar tahun 1950-an, Pemkot Malang mendirikan tugu di atas air mancur yang ada di tengah Alun-alun Bunder yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.

?>