Maret 29, 2023
?>
Bouwplan VI dilakukan demi melindungi nilai sejarah yang ada di pusat kota, termasuk wilayah Pecinan di sebelah selatan Alun-alun Kota Malang (C) TROPENMUSEUM

Bouwplan VI dilakukan demi melindungi nilai sejarah yang ada di pusat kota, termasuk wilayah Pecinan di sebelah selatan Alun-alun Kota Malang (C) TROPENMUSEUM

Sejak dilaksanakannya rencana pengembangan Kota Malang Tahap I-V (Bouwplan I-V), Pemkot sebenarnya sudah berhasil mengendalikan ketakutan lama, yakni berkembangnya kota memanjang ke arah utara-selatan. Namun, kala itu ketakutan berubah. Mereka melihat kota lebih berkembang ke arah utara dan barat. Demi menjawab masalah ini, akhirnya dibuatlah rencana pengembangan Kota Malang tahap VI (Bouwplan VI).

Rencana perluasan kota yang tertuang dalam Bouwplan I-V yang tidak merata menyebabkan pembangunan perluasan kota mengarah ke berbagai jurusan. Hal tersebut berpengaruh terhadap kedudukan pusat kota lama yang berada di Alun-alun Kota. Titik pusat lama, yaitu alun-alun yang bersandar pada daerah Pecinan di sebelah tenggara dan daerah Kajoetangan yang menjadi daerah pertokoan orang Eropa, di sebelah barat daya membuat kedudukannya menjadi sangat penting. Gara-gara perluasan kota, menyebabkan adanya titik pusat baru di persilangan sumbu timur-barat (dari Daendels Boulevard menuju Jalan Semeroe), dengan Jalan Kajoetangan. Di titik persimpangan baru itu kemudian tumbuh bangunan-bangunan yang menjulang ke atas, meski harga tanah di daerah tersebut relatif mahal. Meski dari sisi bisnis tempat ini menjadi titik penting bagi Kota Malang, Pemkot kala itu menilainya dapat membahayakan.

Sementara itu, Lapangan JP. Coen (Alun-alun Bunder) sebagai pusat kota ‘kedua’, tidak ikut dalam pergeseran ini. Lapangan itu tetap menempati posisi yang penting, apalagi setelah dipindahkannya stasiun kereta api (Kotabaru), yang sebelumnya menghadap ke arah tangsi militer diubah menghadap ke barat (ke arah Daendels Boulevard).

Pergeseran pusat kota dari Alun-alun Merdeka terlihat dari gejala perluasan daerah pertokoan di daerah utara menuju ke arah Oro-oro Dowo, dari arah Kajoetangan dan Rampal. Ada kekhawatiran, lambat laun perluasan tersebut akan meninggalkan daerah Pecinan yang dinilai bersejarah. Hal tersebut sungguh tidak dikehendaki oleh Karsten sebagai salah seorang penasihat tata kota di Malang kala itu. Menurutnya, secara sosial hal tersebut kurang terpuji, karena bisa menimbulkan penghancuran pada nilai-nilai sejarah yang tak terhingga nilainya. Maka, direncanakanlah Bouwplan VI untuk mengimbangi pesatnya perluasan kota ke arah barat dan utara demi melindungi nilai sejarah daerah pusat kota yang lama yang terletak di sebelah selatan alun-alun agar tak mati karena ditinggalkan.

Salah satu cara yang ditempuh Pemkot kala itu untuk meredam gejala berkembangnya kota ke arah utara dan barat dengan memberikan perhubungan yang lebih baik pada bagian tenggara kota untuk keperluan lainnya yang bermanfaat, dari alun-alun ke selatan dan dari Sawahan ke timur dan barat yang banyak mengurangi tekanan lalu lintas di daerah baru.

Kala itu terdapat ruang terbuka yang terletak pada lintasan diagonal antara titik yang ramai di daerah Pecinan dan pertokoan Kajoetangan. Tak tanggung-tanggung, kala itu rencana perluasan kota keenam ini menghabiskan tanah seluas 220.901 meter persegi.

Daerah hasil perluasan kota melalui Bouwplan VI tersebut kemudian dikenal dengan sebutan daerah Eilandenbuurt (daerah pulau-pulau). Disebut demikian, karena jalan-jalan di daerah ini memakai nama-nama berbagai pulau di Nusantara, seperti Lombok Weg (sekarang Jalan Lombok), Java Weg (sekarang Jalan Jawa), Soemba Weg (sekarang Jalan Sumba), Flores Weg (sekarang Jalan Flores), Madoera Weg (sekarang Jalan Madura), Bali Weg (sekarang Jalan Bali), Kangean Weg (sekarang Jalan Kangean), Bawean Weg (sekarang Jalan Bawean), Sapoedi Weg (sekarang Jalan Sapudi), Seram Weg (sekarang Jalan Seram) dan sebagainya.

Pemkot membangun perumahan kelas menengah di daerah hasil Bouwplan VI tersebut. Perumahan di daerah itu banyak dibangun oleh perusahaan perumahan milik Pemkota Malang. Hingga sekarang, nama-nama jalan di wilayah Bouwplan VI tersebut kebanyakan tidak berubah. Berbeda dengan nama-nama jalan di daerah yang dinamakan Oranjebuurt atau daerah Gouverneur-Generaalbuurt yang semuanya berbau kolonial, sehingga nama-nama jalan tersebut harus diubah.

Untuk menghidupkan daerah tenggara Alun-alun Kota yang sangat bersejarah, peran Pasar Pecinan (yang kemudian dijadikan Pasar Besar Kota Malang) tidak dapat diabaikan. Tak heran jika Pemkot pun menaruh perhatian khusus atas perbaikan dan perluasan pasar tradisional terbesar di Malang tersebut.

?>