
Balai Desa Pajaran, Kecamatan Poncokusumo kini (C) RDPPPWK
Belum lama didirikan, Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) sudah mencatatkan cerita kesuksesan dalam melakukan serangan ke markas Belanda. Serangan yang dilancarkan bersama Brigade XIII tengah malam itu terjadi di Desa Pajaran, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang tepat pada 30 Agustus 1948.
Sebelum melancarkan serangan tersebut, PGI mendapat informasi bahwa tentara Belanda di Pajaran memiliki kekuatan satu seksi yang memakai gudang padi yang dikelilingi pagar kawat berduri sebagai pos. Diketahui pula bahwa sistem penjagaannya tidak bergerak, karena penjaga hanya berdiam di tempat sambil berdiri siap siaga.
Berbekal situasi dan kondisi yang sudah dipelajari matang, PGI dan Brigade XIII kemudian bersama-sama berangkat menuju Pajaran dalam suasana gelap gulita. Sekitar pukul 00.00 pasukan sudah siap di tempat masing-masing untuk melancarkan aksi mereka.
Kala itu, keadaan Desa Pajaran tampak meriah dengan adanya lampu minyak yang dipasang di kiri dan kanan jalan. Kebetulan hal itu untuk ikut memeriahkan hari besar Belanda, yakni perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda. Kondisi itu sangat menguntungkan bagi pasukan PGI.
Begitu ada ledakan dua buah granat di atas pos Belanda sebagai isyarat, pasukan yang sebelumnya telah siap sedia langsung memulai penyerangan. Serangan dahsyat yang benar-benar dilancarkan oleh PGI secara serempak tak mendapatkan perlawanan sama sekali dari dalam pos Belanda. Namun, seketika terdengar tembakan dari depan pos tersebut. PGI menduga tembakan itu dilakukan pasukan bantuan Belanda dari pos Wajak yang baru datang ke Pajaran.
Sebenarnya, PGI ingin melakukan perlawanan terus, tetapi mereka khawatir pagi segera datang. Jika pihak musuh dan KTN (Komisi Tiga Negara) mengetahui perbuatan PGI akan menyebabkan perjuangan mereka sia-sia, karena pada waktu itu dalam masa gencatan senjata. Oleh karena itu, penyerangan pun dihentikan. Komandan PGI segera memerintahkan segera mengakhiri serangan dan mundur ke tempat pertahanan. Ternyata, saat PGI mundur dari daerah musuh, tidak ada tembakan atau pun tentara lawan yang melakukan pengejaran.
Akhirnya, PGI pun kembali ke daerah pertahanan dengan masih memendam kewaspadaan tinggi terhadap siapa saja yang patut dicurigai sebagai kaki tangan dan mata-mata musuh yang tidak mudah diketahui. Untuk itu, segala tindakan dan ucapan harus dijaga dengan hati-hati.
Beberapa saat kemudian, datang seorang anggota Brigade XIII yang ditugaskan memeriksa dan menyelidiki hasil serangan PGI semalam. Menurut laporannya, bangunan gudang padi yang dijadikan sebagai pos Belanda hancur tak bersisa. Tiga orang petugas penjaga pos semuanya mati tertembak, sedangkan di dalam gudang ada 20 orang tentara Belanda mati karena ledakan dan runtuhan bangunan yang hancur oleh granat yang dilemparkan PGI.
Dari hasil penyelidikan, ternyata, perlawanan Belanda dari arah depan pos malam itu bukanlah bantuan dari Wajak, tapi 10 tentara Belanda yang kebetulan baru pulang dari undangan Kepala Desa dalam rangka selamatan perayaan hari besar Belanda. Saat PGI melancarkan serangan, meraka tidak berani mendekati pos, dan hanya mengambil posisi menembak di depan rumah kepala desa. Tentara Belanda itu tidak tahu sama sekali siapa yang menyerang pos mereka. Hanya tembakan-tembakan dan ledakan yang mereka dengar. Makanya, di saat komandan PGI memerintahkan untuk mundur, 10 pasukan Belanda tersebut pun tidak berani mendekati pos mereka yang telah hancur oleh serangan Pasukan Gerilya Istimewa.