
Pabrik Rokok Faroka sebagai salah satu hasil Bouwplan VIII
Selang 15 tahun sejak program Bouwplan I dijalankan, pertumbuhan ekonomi di Kota Malang semakin baik. Tak heran jika tahun 1930-an, Pemerintah Kota Malang mulai sadar hadirnya daerah industri. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi dibuatnya rencana pengembangan Kota Malang tahap VIII (Bouwplan VIII).
Di tahun tersebut, perkembangan industri di Malang semakin meningkat, sehingga dirasa sangat perlu untuk menyediakan daerah industri khusus oleh Pemkot. Zona industri tersebut diperuntukkan bagi perusahaan besar.
Sebagai sarana dan prasarana, tentu daerah industri tak bisa lepas dari keberadaan rel kereta api untuk menunjang kegiatan industri tersebut. Tak heran jika zona industri ini ditempatkan di daerah selatan Kota Malang di mana terdapat emplasemen kereta api dan trem uap.
Untuk Bouwplan VIII ini, Pemkot Malang menyediakan lahan seluas tak kurang dari 179.820 meter persegi. Perusahaan besar seperti BPM dan Faroka menempati wilayah industri baru di Kota Malang ini. Pada rencana perluasan kota tahun 1935, daerah industri tersebut kembali diperluas. Di zona industri itu juga terdapat abatoar atau rumah pemotongan hewan.
Ternyata, perkembangan indutri semakin pesat di Kota Malang. Zona industri pun tak hanya ada di daerah selatan, karena diperluas juga di sebelah utara di dekat daerah Blimbing. Daerah industri yang awalnya hanya direncanakan seluas 440 hektar kemudian diperluas lagi hingga mencapai 1.000 hektar.
Sebagaimana Bouwplan tahap sebelumnya, Ir. Herman Thomas Karsten cukup memegang peran yang penting di Bouwplan VIII ini. Hanya saja, kali ini pria asal Jerman tersebut diminta secara resmi menjadi penasihat (adviseur) Kota Malang dari tahun 1929-1935.