Maret 27, 2023
?>
Seksi Wanita Brigade XIII Malang. Berdiri dari kiri: Soekesi, Tutuk Rukamah (Tokas), Nurul Komariah Soetowidjojo, Marhati. Duduk dari kiri: Ninik Suratmi, Ibu Soeprapti, dan Petty Soepatmi Kadarisman.

Seksi Wanita Brigade XIII Malang. Berdiri dari kiri: Soekesi, Tutuk Rukamah (Tokas), Nurul Komariah Soetowidjojo, Marhati. Duduk dari kiri: Ninik Suratmi, Ibu Soeprapti, dan Petty Soepatmi Kadarisman.

Saat terjadi perang kemerdekaan, Malang menjadi basis tentara dan rakyat Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Tak hanya kaum lelaki saja, karena Malang memiliki pasukan wanita yang tergabung dalam Seksi Wanita Brigade XIII.

Saat terjadi perang kemerdekaan, Malang menjadi basis tentara dan rakyat Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Tak hanya kaum lelaki saja, karena Malang memiliki pasukan wanita yang tergabung dalam Seksi Wanita Brigade XIII.

Para pejuang wanita ini sebenarnya sudah ikut berjuang sejak pertempuran di Surabaya hingga perang gerilya di wilayah Karesidenan Malang. Beberapa tugas yang pernah mereka jalankan saat pecahnya pertempuran Surabaya adalah mengurus jenazah-jenazah yang menjadi korban pertempuran, bertugas sebagai anggota palang merah dengan memberikan bantuan perawatan kepada korban perang yang mengalami luka-luka, maupun ikut bergabung menjadi tenaga masak di dapur umum.

Setelah ikut mundur dalam pertempuran Surabaya, di daerah Sidoarjo hingga Japanan, di sanalah kebanyakan dari mereka memperoleh panggilan untuk bergabung dengan Biro Perjuangan dalam kelompok PGPS (Pemuda Gabungan Pemudi Surabaya), yang dilatih dalam area Jawa Timur. Mereka kemudian disatukan di Biro Perjuangan TNI-Masyarakat Brigade XIII. Salah satu langkah konsolidasi yang telah dilakukan oleh kaum wanita itu turut serta membantu pasukan gerilya di medan pertempuran.

Kala TNI-Masyarakat terlibat dalam Madiun Affair 1948, induk dari kesatuan wanita tersebut mengalami kekosongan. Letnan Kolonel drh. Soewondho pun akhirnya mengumpulkan pasukan wanita ini di daerah Sumberpucung. Dalam kesempatan tersebut pula disampaikan pesan bahwa sejak saat itu mereka di bawah naungan CMK Malang dengan komandannya Letkol drh. Soewondho. Sejak saat itu pula, mereka menjadi sebuah kesatuan khusus, yaitu Seksi Wanita dengan komandan Ibu Soeprapti.

Pada perang kemerdekaan di wilayah Karesidenan Malang, banyak jasa dan pengabdian yang telah dilakukan oleh pasukan wanita tersebut. Mereka pernah menjalankan tugas di bidang perhubungan (sebagai kurir untuk memberikan informasi dan menyampaikan berita dari kesatuan ke kesatuan lainnya) dan menyampaikan surat-surat penting. Misalnya info dari Mayor Hamid Rusdi kepada Kapten Soendjoto di Kasin Gang VIII (belakang pos Belanda, sekarang pos polisi). Mereka pun sanggup mengirimkan dokumen-dokumen penting dari markas satu ke markas lainnya, SWK satu ke SWK lainnya, seperti saat mengirimkan dokumen dari Gunung Kawi ke Gunung Semeru. Menerobos daerah musuh atau lewat kota sekalipun sudah biasa dan bukan merupakan halangan bagi Seksi Wanita ini. Sudah jelas, tugas maha penting tersebut membutuhkan keberanian karena penuh risiko.

Seksi Wanita ini memiliki tugas lain, yakni sebagai penunjuk jalan. Biasanya, mereka berjalan lebih dahulu ketimbang para pimpinan atau petugas penting lainnya, hingga tiba di tempat tujuan. Selain kemampuan untuk menguasai medan, mereka juga mengerti tempat kedudukan komando dan pejuang gerilya pada umumnya. Tak kalah pentingnya, para pejuang wanita tersebut merupakan mata dan telinga bagi para gerilyawan, sehingga sangat menguntungkan untuk menghindari sergapan musuh secara mendadak. Keuntungan lainnya, pasukan TNI dapat menyergap dan menghadang musuh yang pertama kali diketahui oleh pasukan wanita ini.

Karena masuk daerah pendudukan musuh dibutuhkan ketabahan dan keberanian tersendiri, apalagi bagi pejuang wanita, maka dari situ sudah tampak jelas arti perjuangan Seksi Wanita Brigade XIII tersebut.

Ketika Belanda melakukan agresi militer II, markas Seksi Wanita berkedudukan di Sumberpucung. Begitu terjadi penyerbuan, Seksi Wanita itu ikut melakukan Wingate Action ke daerah pendudukan Belanda. Selanjutnya, sebagian dari mereka berada di daerah Ketawanggede dan Dinoyo, Kota Malang. Sementara itu, Ibu Soeprapti sang komandan berada di sekitar Sumberporong, Lawang bersama sebagian pasukan. Pada umumnya, pasukan yang dipimpinnya tak pernah tinggal menetap di satu desa atau kota, untuk menghindari terciumnya keberadaan mereka oleh pasukan Belanda.

Mereka pun pernah menyamar sebagai seorang perawat yang ikut berperan dalam penculikan dokter (antara lain dr Sutoyo) dari Rumah Sakit Turen untuk dibawa ke daerah gerilya. Pasukan ini juga berperan dalam hal suplai obat-obatan, yang dilakukan dengan baik. Selain itu, beliau juga memberikan pendapat kepada komandan dalam hal-hal yang berhubungan dengan kewanitaan.

Semasa setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda, para anggota Seksi Wanita Brigade XIII turut serta masuk Kota Malang. Pada masa itu, berbagai tugas telah menanti mereka. Beberapa orang bertugas sebagai anggota TNI, terjun di lembaga pendidikan sebagai Kepala SKP.

Hal yang juga perlu dicatat, terdapat beberapa anggota Seksi Wanita yang gugur semasa perang kemerdekaan. Salah satunya adalah Kurnia yang gugur di daerah Kesamben. Atas jasa-jasa yang disumbangkan kepada bangsa dan negara, mereka dianugerahi Bintang Gerilya oleh pemerintah RI, termasuk sang komandan Ibu Soeprapti.

Keterangan foto: Seksi Wanita STM Malang dipimpin oleh Ibu Soeprapti. Berdiri dari kiri: Soekesi, Tutuk Rukamah (Tokas), Nurul Komariah Soetowidjojo, Marhati. Duduk dari kiri: Ninik Suratmi, Ibu Soeprapti, dan Petty Soepatmi Kadarisman.

?>