
Situs Petirtaan di Tajinan | Foto: Kompas
Ada sebuah penemuan situs petirtaan di Dusun Nanasan, Ngawonggo, Tajinan, Malang. Situs itu diidentifikasikan sebagai pemandian (petirtaan) kuno pada masa Kerajaan.
Situs itu ditemukan oleh Yasin, pemuda setempat yang mengaku sudah mengetahui sejak kecil karena dia bersama teman-temannya bermain di sana. Hanya saja, dirinya baru mengetahui jika hal itu adalah peninggalan sejarah baru-baru ini sehingga mengunggah di daring media sosial.
Dari situs petirtaan tersebut di atasnya mengalir pancuran air yang salah satunya terhubung dengan Balai Desa Ngawonggo. Petirtaan itu terletak di tebing Sungai Manten yang melintasi desa tersebut dan diduga di sekitar wilayah tersebut masih banyak situs serupa yang belum ditemukan karena tertutup semak ataupun terpendam.
Hal ini juga dibukrikan dengan adanya gua atau reruntuhan bangunan di sekitarnya yang belum dimaksimalkan untuk dieksplorasi.
Di situs petirtaan tersebut ada sembilan arca yang letaknya di ujung timur. Sayang, lampaunya waktu membuat beberapa diantaranya sangat sulit untuk dikenali. Hanya beberapa saja yang bisa dilihat dengan kasat mata seperti arca Siwa, Dewa Wisnu, hingga arca Genesha.
Selain sembilan arca juga ada sembilan pancuran yang ada sebuah bangunan seperti kolam tingkat dua. Kolam itu berukuran 5×6 meter dan 4×5 meter, keduanya dipisahkan oleh saluran air.
Menurut Haryoto yang merupakan juru kunci candi di Malang Raya saat melakukan survey. Dikatakan jika yang dia lakukan adalah masih awal karena situs ini baru saja ditemukan.
Dirinya yang mengukur, memeriksa bebatuan, hingga mengecek lokasi hanya bisa memperkirakan karena nanti akan dilaporkan ke ke Balai Pelestarian peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan sehingga ada tindakan yang lebih kongkrit.
Sementara itu, Imam Pinarko dari Candi Kidal menyatakan jika dilihat dari struktur bangunan, situs itu dibangun pada masa akhir Kerajaan Singosari atau awal Kerajaan Majapahit. Hal ini juga dibuktikan dengan bahan baku banguynan tersebut yaitu terbuat dari batu cadas dan sebagian andesit.
“Pada masa Singosari, batu andesit itu mulai sulit. Sehingga yang dipakai adalah batu Cadas, sedangkan pada masa Majapahit sudah menggunakan batu bata,” ungkapnya.