April 2, 2023
?>
Peta Kecamatan Wagir di mana lokasi Pertempuran Precet

Peta Kecamatan Wagir di mana lokasi Pertempuran Precet

Ada kisah menarik tentang persahabatan dua tentara RI yang mewarnai peristiwa Agresi Militer Belanda II tahun 1949 silam. Kedua sahabat itu adalah Sarwono-Rahmanudin yang sama-sama terlibat dalam Pertempuran Precet.

Ada kisah menarik tentang persahabatan dua tentara RI yang mewarnai peristiwa Agresi Militer Belanda II tahun 1949 silam. Kedua sahabat itu adalah Sarwono-Rahmanudin yang sama-sama terlibat dalam Pertempuran Precet.

Pertempuran Precet sendiri terjadi di sebuah desa yang terletak di Malang Selatan yang saat ini masuk wilayah Desa Sumbersuko di Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Sarwono merupakan anggota Batalyon 17, pimpinan Mayor Abdullah, di bawah Brigade I, Letkol Sudirman, yang bertugas di daerah Bojonegoro.

Prajurit tersebut terdampar di Pandaan dan akhirnya bertemu dengan Rahmanudin Salam seorang anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Suwarno menjadi satu dari dua orang yang selamat dalam Pertempuran Precet yang dilancarkan Belanda dalam rangka Agresi Militer II. Berikut ini penuturannya saat berjuang di daerah Malang Selatan.

Pada bulan Juli 1948 diadakan reorganisasi Angkatan Perang. Beberapa kesatuan kelaskaran, termasuk kesatuan saya (ALRI Pangkalan VII Surabaya), dilebur menjadi TNI. Sarwono masuk organik dalam TNI Batalyon 17, Brigade I Jawa Timur. Saat itu, Rahman masih anggota TRIP, Brigade XVII di bawah pimpinan Isman. Selama di daerah Blitar, persahabatan Sarwono dengan Rahman cukup akrab. Meskipun asrama keduanya agak berjauhan, namun Rahman sering menjumpai Sarwono. Saat terjadi pemberontakan Madiun, kesatuan Sarwono bertugas di daerah Rembang dan Lasem, sedangkan Rahman dan kesatuannya bertugas di Rembang. Hal itu membuat keduanya tetap berdekatan dan sering mengunjungi satu sama lain.

Waktu Belanda mengadakan Agresi Militer II, kesatuan Sarwono diperintahkan kembali ke pangkalan, dan melaksanakan perang gerilya. Dua kompi menjadi pasukan dekking Brigade I dan II, sedangkan kompi lainnya ditugaskan menuju lereng Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Saat itu Rahmanudin Salam dan rekan-rekannya dari TRIP berada di Malang Selatan dan Blitar, sedangkan kesatuan Sarwono berada di Pandaan.

Mungkin setelah mendengar bahwa sahabatnya di Pandaan, Rahman dan kawan-kawannya ingin bergabung dengan kompi dari Batalyon 17. Rahman dan keempat kawannya, yaitu Moh. Yatim (bersenjata tomigun), Abdul Kadir (karaben steyer 65), dan Rahmanudin Salam (membawa vicker dan pedang samurai). Sarwono masih ingat, Rahman dkk datang bersamaan dengan datangnya pasukan dari Brigade XVI di bawah Letkol Warrow. Dalam pasukan tersebut juga bergabung beberapa anggota TRIP yang dipimpin Somba.

Peristiwa di Bulan Mei 1949 tidak akan pernah dilupakan oleh Sarwono, karena kembali berjumpa kembali dengan sahabat akrabnya di markas gerilya. Pertempuran itu sangat mengesankan bagi mereka berdua, karena keduanya memang sudah lama saling merindukan. Semalaman mereka tidak tidur, karena masing-masing mengisahkan pengalaman selama berpisah.

Rahman menceritakan pacarnya di Blitar, seorang gadis keturunan Jepang yang masih di SKP. Diceritakan pula tentang gugurnya Mayor Sabarudin Nasution dalam pertempuran di Gunung Kawi. Ditunjukkannya pedang samurai yang bergantung di pinggangnya yang merupakan warisan almarhum Mayor Sabarudin Nasution.

Saat suasana semakin gawat, karena hampir setiap hari terjadi kontak senjata antara serdadu Belanda dengan pasukan RI, kelima anggota TRIP itu pun digabung dalam seksi Enos Rading yang ditempatkan di posisi daerah Lawang-Malang. Suatu hari, seksi ini mendapat tugas dari Komandan Batalyon 17 untuk memberangkatkan satu regu ke Malang Selatan.

Mereka punya misi mengambil bahan peledak di daerah Peniwen. Maka, regu khusus yang terdiri dari sembilan orang, yakni Moh. Yatim (yang merangkap komandan regu), M. Toha, Rahmanudin Salam, Karsiman, Supeno, Juari, Hamdani, Abdul Kadir, dan Sarwono.

Regu khusus ini diberangkatkan menuju Malang selatan pada tanggal 17 Juni 1949. Jarak yang ditempuh begitu jauh, karena tidak melalui jalan raya sebagaimana mestinya, melainkan lewat hutan dan gunung. Sejak semula sudah diperkirakan lama perjalanan menghabiskan waktu sampai tiga hari dengan melewati beberapa pos Belanda, serta hutan-hutan lebat di lereng Gunung Kawi.

Pada tanggal 19 Juni, tibalah rombongan di sebuah desa bernama Precet di Kecamatan Wagir. Kondisi desa itu sudah agak sepi, diduga sebagian besar penduduknya sudah mengungsi. Mereka tiba di desa tersebut kira-kira pukul 20.00 malam.

Sembilan orang itu sendiri dalam keadaan basah kuyup, karena sejak pukul 15.00 sore hujan lebat turun di daerah yang mereka lalui. Karena hari sudah malam, komandan regu menginstruksikan untu beristirahat beberapa saat. Memang pada saat itu mereka merasa letih sekali setelah menempuh perjalanan melintasi bukit terjal, yang memerlukan banyak tenaga.

Sarwono menggambarkan suasana desa begitu sepi, keadaan begitu pekat, lantaran bulan belum terbit. Ia tidak bisa tidur, sampai munculnya bulan sekitar pukul 01.00, lewat tengah malam.

Kesembilan anggota regu ini tidak tidur dalam satu rumah, mereka berpencar di tiga rumah. Kira-kira pukul 05.00 pagi ketika mendengar bunyi tembakan, mereka bersembilan langsung mengambil sikap siaga dengan senjata masing-masing. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu pun segera dijebol, lalu keluar mencari tempat bertahan yang baik. Mereka tidak dapat melarikan diri dari kepungan, karena pasukan Belanda yang menyergap desa tersebut terlalu besar jumlahnya, mungkin sebanyak satu kompi. Karena itu, Sarwono dkk memilih melakukan perlawanan semampu yang bisa dilakukan. Sebuah peluru sempat singgah di dekat ketiak kiri Sarwono.

Begitu hari mulai siang, serdadu Belanda mengundurkan diri. Lalu saat itu juga Sarwono tahu bahwa dari sembilan orang, hanya tersisa dirinya dan Karsiman yang masih hidup.

Sarwono tak sanggup membayangkan, pertempuran di pagi itu, di mana mereka terjepit dari segenap penjuru, namun syukurlah serdadu Belanda meninggalkan desa setelah hari siang. Apakah ada korban di pihak Belanda, Sarwono juga tak tahu. Kemudian, tahulah Sarwono, bahwa pada tanggal 20 Juni 1949, pagi subuh itu, adalah hari berlakunya operasi besar-besaran oleh pihak Belanda di sekitar Gunung Kawi, dengan mengadakan penggrebekan di setiap desa.

Demikianlah, maka dalam Pertempuran Precet di tanggal 20 Juni 1949 pagi hari telah gugur tujuh orang pejuang. Mereka adalah Moh. Yatim, Moh. Toha, Effendi, Juari, Hamdani, Supeno, Abdul Kadir dan Rahmanudin sahabatnya. Pedang samurai milik sang sahabat sengaja disimpan Sarwono sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada sahabatnya.

?>