
Arbanat, salah jajanan khas dari Malang yang biasa dinikmati di waktu senggang. Makanan ini memang tidak sekeren pop corn atau ice cream di jaman sekarang, namun adalah jajanan warisan nenek moyang.
Di wilayah lain di Indonesia, makanan ini kerap dinamakan rambut nenek. Hal ini terjadi karena rupa yang berwarna merah menyala yang mirip dengan rambut nenek.
Arbanat terbuat dari gula pasir yang ditambah dengan pewarna merah. Cara pembuatannya yang pernah penulis saksikan adalah gula pasir dan air dimasak hingga menjadi sebuah wajan. Seperti sebuah karamel, pengadukan ini membutuhkan waktu sekitar 2 jam lebih. Setelah itu, adukan karamel dituangkan dalam sebuah wadah. Dari wadah itulah adonan ditarik dikumpul dan ditarik kembali hingga berbentuk menjadi sebuah rambut.
Keunikan Penjual Arbanat
Jajanan ini banyak dijajakan oleh penjual yang lumayan tua – penulis belum pernah melihat penjual makanan ini dari generasi muda atau berusia dibawah 40 tahun. Sang kakek berkeliling kampung dengan membawa semacam biola yang digesek selama perjalanannya. Ciri khas lain yang menandakan itu penjualnya adalah topi bulat. Ada yang terbuat dari rotan dan tidak sedikit yang terbuat dari kain.
Seolah kompak, sang kakek membawa dua buah kaleng kerupuk. Satu kaleng berisikan arbanat yang dijual, sedangkan kaleng satunya berisi uang hasil penjualan. Sembari keliling kampung, kakek membunyikan musik yang banyak menarik perhatian anak-anak. Alunan melengking musiknya kadang terdengar hingga jauh.
Jika anda membeli arbanat, anda akan menerima sebuah kotak yang terbuat dari kertas bekas. Biasanya berasal dari koran bekas ataupun kertas hasil ujian yang tak jarang terdapat nilai sang pemilik kertas.
Dulu, makanan ini bisa didapatkan dengan menukarkan barang bekas, biasanya berupa kaleng ataupun botol. Penjual punya nilai sendiri berapa harga kaleng bekas tersebut untuk mendapatkan takaran berapa arbanat yang didapat.
Kini, sangat sulit ditemui penjual Arbanat yang berjalan dari kampung ke kampung. Dengan fisik yang tidak lagi muda, sang kakek tak kuasa berjalan jauh seperti sebelumnya. Generasi muda pun juga enggan berjualan karena dianggap kuno. Saat ini, penjual banyak ditemui di sekolah-sekolah dasar. Kadang mereka juga tidak membunyikan musik lagi karena dianggap menganggu pembelajaran.