Maret 27, 2023
?>
Achmad Hudan Dardiri saat menjadi Wali Kota Pasuruan (C) WIKIPEDIA

Achmad Hudan Dardiri saat menjadi Wali Kota Pasuruan (C) WIKIPEDIA

Achmad Hudan Dardiri merupakan Arek Malang asli Jagalan yang lahir 7 April 1924 silam. Sebelum meninggal dunia (juga di Malang) pada 26 Juni 2007, pada usia 83 tahun, ia sempat menjadi pejabat di luar kota. Sebelum menjadi Bupati Jombang (1979-1983), Hudan pernah menjadi Wali Kota Pasuruan (1969-1975).

Achmad Hudan Dardiri merupakan Arek Malang asli Jagalan yang lahir 7 April 1924 silam. Sebelum meninggal dunia (juga di Malang) pada 26 Juni 2007, pada usia 83 tahun, ia sempat menjadi pejabat di luar kota. Sebelum menjadi Bupati Jombang (1979-1983), Hudan pernah menjadi Wali Kota Pasuruan (1969-1975).

Menjabat sebagai Wali Kota Pasuruan, Hudan mengembangkan semangat toleransi dan demokrasi, baik di kalangan pemerintahan, maupun kepada warga Pasuruan. Seperti diketahui, saat itu Pasuruan merupakan daerah yang memiliki potensi budaya dan sumber alam yang luar biasa. Kerukunan yang terjalin dengan baik tercermin melalui keberagaman masyarakatnya. Ada etnis Tionghoa dan Arab yang mendominasi masyarakat Pasuruan. Tak heran jika selain pengembangan dan pembangunan dalam sektor pemerintahan dan kebutuhan publik secara luas, toleransi antar etnis dan antar agama menjadi hal yang diprioritaskannya sejak menjabat.

Banyak bukti nyata penerapan toleransi yang dikembangkan sebagai bentuk kesadaran bagaimana memahami dan menghayati nilai-nilai agama Islam. Salah satunya, diterapkannya di Masjid Agung Pasuruan. Kebetulan, masjid tersbesar di Pasuruan tersebut sudah lama memiliki tradisi khutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab, karena memang pemangku dan takmirnya kebanyakan dari keturunan etnis Arab.

Pada suatu ketika, tepatnya pada tahun 1969, Hudan yang kesehariannya berdinas di kompleks Balaikota Pasuruan di Jalan Balaikota No. 12, Pasuruan, memilih Sholat Jumat di Masjid Agung Pasuruan. Wali kota yang masa mudanya pernah nyantri itu datang ke masjid pada saat persiapan shalat Jumat sedang dilaksanakan oleh pemangku dan takmir masjid. Datang lebih awal sebelum jamaah lain, ia langsung menuju dan duduk di shaf terdepan. Tiba-tiba muncul seoarang takmir (keturunan etnis Arab) menemuinya dan memintanya untuk bergeser ke shaf belakang, karena shaf depan hanya untuk syaikh-syaikh Arab saja. Sempat kaget dan tertegun, Hudan kemudian tersenyum santun, menganggukkan kepala dan berbalik badan menuju shaf paling belakang.

Singkat cerita, khutbah Jumat pun disampaikan oleh khotib orang keturunan Arab dengan bahasa Arap pula selama tak lebih dari 20 menit. Setelah pelaksanaan sholat Jumat, salah satu takmir masjid mengumumkan bahwa Wali kota Pasuruan yang baru sedang shalat Jumat di masjid tersebut dan memmintanya maju ke mimbar podium untuk memberikan semacam pidato kecil. Hudan yang sejak awal datang memilih duduk di shaf paling belakang lantaran “diusir” salah seorang takmir, lantas maju ke depan. Mengenakan baju dan celana panjang yang sederhana, dan berkopyah hitam, sang wali kota membelah shaf para jamaah dengan merunduk permisi, penuh hati-hati dan kesopanan.

Di hadapan jamaah sholat Jumat, Hudan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh masyarakat Pasuruan yang telah menerima dirinya sebagai wali kota. Dalam forum tersebut, ia pun mengharapkan dukungan warganya untuk membantu dalam proses pembangunan di segala bidang yang diprogramkannya. Ia juga menghimbau kepada segenap masyarakat untuk tetap menjalin kebersamaan antar pemeluk agama dan etnis. Walikota yang pernah ikut perang kemerdekaan itu turun menyinggung sedikit soal khutbah yang disampaikan khotib, sebelum mengucapkan wassalam dan pamit mundur dari mimbar itu.

“Apakah sedoyo jamaah Jumat mangertos nopo ingkang dipun sampaikan khotib kolo wau?” (apakah jamaah sekalian mengerti apa yang disampaikan khotib tadi?), tanyanya kepada seluruh jamaah. Semua jamaah terdiam. Para syaikh dan takmir keturunan Arab pun tak menjawab.

“Jika semua jamaah mengerti khutbah dengan menggunakan bahasa Arab, ya monggo saja. Tetapi jika tidak paham, untuk apa khutbah bahasa Arab itu dijadikan khutbah rutin setiap Jumat? Maka, alangkah baiknya jika khutbah yang rutin tersebut juga diselingi dengan bahasa Jawa atau dengan bahasa Indonesia. Ini sekadar saran saya, sebagai warga Pasuruan sebagaimana panjenengan sedoyo. Semoga ada kebaikan dan manfaatnya di kemudian hari,” begitulah Ahmad Hudan Dardiri menutup pidato pendeknya.

?>