
Hamid Rusdi jadi komandan yang menumpas PKI di Donomulyo dalam Clash I (C) SURYA
Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 ternyata berimbas hingga ke Malang Selatan, tepatnya di Donomulyo. Hamid Rusdi yang kala itu menjabat sebagai Komandan Batalyon I di bawah Komando Brigade IV Jatim pimpinan Letnan Kolonel Dr. Soedjono ditunjuk untuk mengatasi kekacauan yang dikenal dengan sebutan Clash I tersebut.
Pada tahun 1948 usai Agresi Militer Belanda, situasi Kota Malang tidak lebih tenang dibanding sebelumnya sebelum Belanda berhasil menduduki beberapa daerah penting di kota tersebut. Kenyataan ini tidak menyurutkan perjuangan Mayor Hamid Rusdi bersama pasukannya. Benteng pertahanan di sekitar Bululawang, Kabupaten Malang dibangunnya. Di tengah usahanya menyusun kekuatan ini, datang kabar mengenai Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Perjanjuan tersebut mengakibatkan kedudukan pasukan Hamid Roesdi harus pindah ke daerah Turen, selatan Bululawang untuk mengadakan konsolidasi. Efek lainnya, setelah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin dan digantikan oleh Kabinet Hatta, program baru untuk memperbaiki anggaran belanja negara disusun, yaitu rekonstruksi dan rasionalisasi (ReRa) pada tubuh TNI.
Tujuan program ReRa ini adalah membangun struktur organisasi baru dengan menurunkan pangkat tentara menjadi satu tingkat di bawahnya. Jadi, yang tadinya Letnan Kolonel kemudian menjadi Mayor. Itulah yang dirasakan Mayor Hamid Rusdi, yang langsung mendapatkan jabatan baru sebagai Komandan Batalyon I.
Di tengah pro-kontra ReRa ini, meletuslah pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. PKI ingin merebut kekuasaan dari Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Kekacauan ini bahkan menjalar hingga ke beberapa daerah di Jatim, termasuk ke Malang selatan, tepatnya di daerah Donomulyo, Kabupaten Malang.
Hamid Rusdi yang asli Pagak, daerah tetangga Donomulyo didapuk sebagai pucuk pimpinan, Komandan Komando Operasi untuk mengatasi kekacauan tersebut. Hamid Rusdi memboyong sebagian pasukannya ke Donomulyo untuk menghadapi situasi yang sulit, yaitu kebencian rakyat Donomulyo terhadap TNI. Waktu itu, PKI berhasil menanamkan pemahaman kepada rakyat bahwa TNI adalah MB (Mobil Brigade Polisi) milik Belanda yang harus ditumpas.
Menariknya, Mayor Hamid Rusdi berpendapat, menghadapi kebencian tidak harus dengan kebencian. Ia memilih untuk mengadakan seleksi menyeluruh terhadap rakyat Donomulyo untuk menetapkan apakah seseorang termasuk PKI atau tidak. Rakyat yang terbukti sebagai pengikut PKI namun kesalahannya tergolong ringan ditahan di Suwaru, Kecamatan Gondanglegi. Sementara mereka yang dinilai membahayakan dibawa ke daerah Petung Ombo, persil kopi daerah Dampit. Cerita ini didapat dari penuturan Prawirodihardjo bekas Carik Tawangrejeni, Turen.
Donomulyo diklaim sebagai base camp PKI. Ideologi itu berhasil dikembangkan hingga mampu mempengaruhi rakyat. Menariknya, dari ideologi itu pula lahirlah organisasi-organisasi yang memiliki struktur persis dalam ketentaraan. Bahkan, sudah didirikan batalyon khusus di Donomulyo yang dipimpin oleh Tjokro Bagong. Ia merupakan gembong PKI terbesar yang punya pengaruh kuat di daerah Malang dan sekitarnya.
Tjokro Bagong dikenal memiliki satu anak buah yang setia bernama Dji’an, yang berhasil ditangkap dan dilucuti senjatanya oleh pasukan Mayor Hamid Rusdi. Tjokro Bagong pun sukses ditangkap di Donomulyo dan kemudian dibawa ke Tulungagung, lalu dipindahkan ke Turen. Ia terbunuh di Turen setelah ada kabar terbunuhnya Muso, pada tanggal 31 Oktober 1948.
Begitulah sepak terjang Mayor Hamid Roesdi dalam menumpas PKI di Donomulyo yang dikenal dengan sebutan Clash I. Meski pemberontakan PKI dapat ditumpas, pasukan pimpinan Mayor Hamid Rusdi masih tetap harus bertugas menghadapi musuh lamanya, yaitu Belanda yang terus merangsek ke Malang Selatan.