
Bella Vista, Bangunan Tua di Belakang Gedung DPRD Kota Malang (C) AKAIBARA
Terdapat bangunan tua bercorak khas Eropa klasik di belakang gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Malang. Terdapat tulisan Bella Vista di bagian atas pintu masuk utama gedung yang mangkrak tersebut.
Bermula dari niat penulis yang kebetulan berjalan di seputaran Jalan Gajahmada, Kelurahan Kiduldalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang untuk menunaikan sholat Jumat di Masjid Balaikota Malang. Penulis melihat ada sebuah gedung tua di belakang gedung DPRD Kota Malang, atau di seberang jalan masuk menuju Masjid Balaikota Malang. Penulis berpikir gedung tua Bella Vista tersebut layak dijadikan cagar budaya, terlebih letaknya tak jauh dari gedung DPRD Kota Malang dan Balaikota Malang, di mana kawasan tersebut termasuk salah satu ikon heritage di kota tersebut.
Sepekan kemudian, masih dalam momen menunaikan sholat Jumat di lokasi masjid yang sama, penulis tak sengaja melihat ada aktivitas di halaman gedung tua Bella Vista tersebut. Ada beberapa orang pekerja yang membersihkan ranting-ranting pohon dan semak belukar yang sepekan sebelumnya sempat menutupi penampakan gedung tua tersebut.
Usai menunaikan sholat Jumat, bersama seorang rekan yang sama-sama penasaran, si penulis menghampiri gedung tua Bella Vista tersebut. Kebetulan ada beberapa anggota Satpol PP yang sedang duduk-duduk istirahat. Keterangan yang didapat penulis dari si Satpol PP itu tak banyak membantu menguak sejarah sebenarnya gedung tua ini. Penulis hanya mendapatkan sebuah plang nama bertuliskan STT Atlas Nusantara pada tembok bangunan sebelah timur.
Rasa penasaran penulis yang kian membuncah memunculkan ide untuk mengunggah foto tersebut di grup facebook Mengingat Malang (MM). Tak disangka banyak respon bermunculan. Ada yang menyebutkan bahwa gedung tua tersebut pernah ditempati sebuah kampus bernama Instekom, ada pula yang mengatakan bekas sebuah bimbingan belajar BTC (Business Training Center). Namun, dari semua itu, ada komentar menarik yang ditemukan penulis dari akun bernama Restu Respati yang mengulas tentang gedung tua Bella Vista tersebut.
Restu yang mengaku sebagai pendiri komunitas Jelajah Jejak Malang menjelaskan bahwa bangunan tua itu merupakan bekas penginapan (hotel/villa). Menurut pendapatnya, awalnya gedung tua itu diperuntukkan bagi kalangan Europeanen. Gedung tua itu memiliki keistimewaan karena bercorak seni gaya lengkung (curved style art) atau biasa disebut Gaya Neo-Klasik dari Eropa.
Sementara itu, akun Arief Mardi Wibowo menyebutkan bahwa gedung tua Bella Vista itu pernah dijadikan perumahan kejaksaan, karena pernah tinggal di sana. Sekitar tahun 1985, kabarnya bangunan itu akan dipergunakan oleh pemerintah, sehingga para penghuninya pindah semua. Masih menurut Arief, ia mendapatkan cerita bahwa gedung tua itu pernah menjadi rumah sakit pada masa pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942. Hal itu diperkuat dengan bukti-bukti bentuk ruangan di dalamnya dan lampu-lampu bekas operasi yang masih tersisa. Kebetulan yang ditempatinya bersama keluarga waktu itu seperti bekas ruangan operasi, dengan letak atap yang tinggi, lampu gantung panjang, dan dua pintu kembar (model kupu tarung) dengan ukuran besar. Menurutnya, ruangan lain kurang lebih sama bentuknya.
Penulis belum mengetahui apakah status gedung tersebut sudah masuk Cagar Budaya Kota Malang atau belum. Namun, menurut Restu, gedung tua Bella Vista ini layak dijadikan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Malang. Namun, masalah kepemilikan yang menjadi kendala utamanya. Jika sebuah rumah dibangun pada area yang merupakan zone pemukiman zaman Hindia-Belanda, maka lazimnya pada tanah dan bangunannya terdapat hak verponding yang dikeluarkan Pemerintah Kota Malang atas nama Binnenlands Bestuur (BB) Hindia Belanda.
Sayangnya, Perang Dunia II dan berakhirnya penjajahan Belanda menyebabkan sistem administrasi/kepemilikan tanah itu seketika berubah. Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 mendorong proses transisi kepemilikan dari orang Belanda kepada orang Indonesia. Namun, di antara tahun 1949-1960 telah banyak rumah dikuasai bukan oleh pemilik verponding karena berbagai alasan.
Pada masa Perang Kemerdekaan 1945-1949, pejabat militer setempat berhak pula mengeluarkan besluit untuk pemakaian suatu tanah dan bangunan. Setelah Republik Indonesia berdiri secara sah, pengurusan hak kepemilikan tanah dan bangunan juga mengalami proses nasionalisasi, di mana pada tahun 1954 semua hak guna tak bisa diperpanjang oleh pemilik lama, atau harus diurus kembali.
Masalah-masalah tersebut membuat sebagian besar bangunan di Malang yang berpotensi dijadikan cagar budaya oleh Pemkot Malang memiliki kerumitan kepemilikan. Ada yang diperjualbelikan haknya, ada yang memiliki dasar besluit, ada yang memakai surat Kepala Agraria (dahulu dijabat Gubernur Jawa Timur) dan ada yang memakai ketetapan Pemerintah saja. Beragam kepemilikan dan beragam latar belakang itulah yang menjadi kendala Pemkot Malang dalam menetapkan status cagar budaya pada suatu bangunan.