
Cerita Kiai Haji Masjkur Lolos dari Kepungan Sekutu (C) RADARMALANG
Sebagai tokoh pergerakan di masa memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Kiai Haji Masjkur memiliki cerita yang tak banyak diketahui masyarakat awam. Salah seorang pendiri Laskar Sabilillah ini pernah lolos dari kepungan pasukan Sekutu.
Cerita itu terjadi saat Belanda bersama Sekutu melakukan Agresi Militer II pada Desember 1948. Kisah ini diceritakan oleh Abdurrahim selaku Tim Peneliti dan Pengusul Gelar Pahlawan untuk KH Masjkur dalam laman Republika.co.id pada November 2018 lalu.
Pengalaman heroik Kiai Haji Masjkur yang diceritakannya itu berlatar belakang tertangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta oleh Sekutu saat agresi militer. Seluruh menteri dalam kabinet tersebut juga ikut ditangkap. Hanya ada lima menteri yang gagal ditangkap, dan tiga lainnya sedang dinas ke luar negeri. Salah seorang menteri yang gagal ditangkap itu adalah Kiai Haji Masjkur yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama (Menag).
Berdasarkan informasi, saat itu Kiai Haji Masjkur tinggal di Yogyakarta. Ia bisa lolos lantaran kebiasaannya yang gemar menjalankan salat subuh di masjid dekat rumahnya bersama putranya yang berusia 10 tahun. Sepulang dari masjid, Kiai Haji Masjkur mendapati rumahnya telah dikepung pasukan Sekutu. Ia pun berusaha melarikan diri bersama sang putra dan sekretaris pribadinya ke arah hutan.
Dalam pelariannya, ketiganya menempuh perjalanan kaki ke Krapyak, lalu lurus ke Solo. Beruntung, sesampainya di Solo ia bisa menggunakan mobil dinas Pemerintah Daerah Solo untuk menuju ke Ponorogo.
Mereka tinggal sementara di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo sekitar empat sampai lima hari. Tempat tersebut bagi mereka tak sekadar menjadi tempat pelarian dari pasukan Sekutu, tapi juga untuk melakukan konsolidasi dengan para kyai dan ulama. Mereka terus memantau tentang kondisi terkini Republik Indonesia.
Dalam pelariannya itu, Kiai Haji Masjkur juga memiliki tugas khusus melakukan konsolidasi di wilayah Jawa Timur. Konsolidasi itu terus berlanjut hingga ke wilayah Trenggalek di mana ia sempat menemui Jenderal Sudirman.
Pihak Belanda menganggap dengan penangkapan kepala negara dalam agresi militer yang mereka lakukan, negara Indonesia otomatis dibubarkan. Mereka pun mengumumkan isu pembubaran itu kepada rakyat. Namun, Bung Karno lebih pintar karena langsung bergerak cepat dengan mengirim memo kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin yang sedang berada di hutan belantara Sumatera ditunjuk untuk memimpin pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pemerintahan darurat yang berlangsung dari 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 itu tak hanya dipimpin Sjafruddin sendirian dari Pulau Sumatera. Mandat diberikannya kepada tiga menteri untuk melakukan tugas kepresidenan di Jawa Timur, dan dua tokoh lainnya di Jawa Tengah. Pemerintahan di lokasi-lokasi ini dikenal dengan sebutan Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD). Kebetulan, Kiai Haji Masjkur adalah menteri yang ditunjuk memegang wilayah Jawa Timur.
Abdurrahim menyebutkan, tugas yang dilakukan Kiai Haji Masjkur setara dengan yang dilakukan presiden. Ia mendapat mandat untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada, meski kepala negara dan sejumlah menteri ditangkap oleh para Sekutu.
Memang, Jenderal Sudirman yang berjasa dalam mempertahankan Indonesia melalui gerakan perang gerilyanya. Namun, KPPD tak kalah berjasa melalui upaya mereka meyakinkan rakyat bahwa Indonesia tidak bubar.
Dalam tugasnya di wilayah Jawa Timur, Kiai Haji Masjkur kerap memanfaatkan jaringan Laskar Sabilillah yang didirikannya. Melalui wadah tersebut, ia mampu merangkul para kiai, ulama, dan santri-santri di pedesaan dengan pidatonya. Ia menegaskan bahwa Indonesia masih ada, dan apa yang dikatakan Belanda dan Sekutunya bahwa Indonesia dibubarkan itu tidak benar.