
Tan Malaka dan Lahirnya Gerakan Pembela Proklamasi di Gunung Kawi (C) GRID.ID
Semula Gerakan Pembela Proklamasi (GPP) dari Tan Malaka mendapatkan simpati banyak pihak, tetapi ketika gerakan ini dibelokkan ke arah suatu visi politik tertentu, banyak kesatuan yang mengundurkan diri.
Pada suatu kesempatan pada bulan Januari 1949 telah diadakan pertemuan besar bertempat di Kalitapak (Kawi Selatan), tampak kecenderungan dari GPP ke arah suatu tertentu. Hal ini dapat dilihat dari para pemateri dalam pertemuan tersebut yang seluruhnya kaum politisi. Beberapa kesatuan telah meninggalkan pertemuan, seperti Batalyon XVII dan utusan Korps Mahasiswa.
Banyak kalangan yang tidak setuju dengan langkah-langkah revolusioner yang ditempuh Tan Malaka dkk dengan pendirian Negara Demokrasi Indonesia-nya. Seperti diketahui, bahwa pembentukan Negara Demokrasi Indonesia tersebut didirikan dengan mengambil momentum yang dianggap tepat, yaitu ketika Belanda masuk Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Ketika itu, diumumkan bahwa Soekarno-Hatta tertangkap. Dengan alasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Gerakan Pembela Proklamasi (GPP) di atas Gunung Kawi. Mereka mengadakan perjanjian yang dinamakan Kawi Pact di daerah Wlingi.
Aktivitas brigade ini mempengaruhi rakyat sekitar yang antara lain didukung oleh Batalyon Sabarudin. Puncak dari aksi Gerakan Pembela Proklamasi adalah memproklamasikan Negara Demokrasi Indonesia di Blimbing. Mereka menganggap RI yang dipimpin Soekarno Hatta telah menyerah.
Pengumuman berdirinya Negara Demokrasi Indonesia, sekaligus dilakukan dengan penunjukan dirinya sebagai presiden, dengan mengangkat Letkol Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima Besar Gerakan Pembela Proklamasi.
Sabaruddin, adalah seorang bekas narapidana dan seorang petualang dari Sidoarjo. Ia pernah mendapatkan pendidikan PETA, kemudian mengaku sebagai PM (Polisi Militer) di daerah Sidoarjo. Dengan cara itu ia menangkap dan membunuh orang-orang yang tidak disukainya, termasuk mantan komandannya sendiri Shodancho Sidoarjo, yaitu Budiardjo karena masalah pribadi. Karena tindakan kriminal yang dilakukannya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Kediri oleh panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Soengkono. Sabaruddin hanyalah seorang petualang yang haus kekuasaan dan kedudukan. Hal ini utamanya berkaitan dengan Gerakan Pembela Proklamasi, yang memberikan kedudukan kepadanya sebagai seorang Panglima Besar.
Beberapa kesatuan sempat dipengaruhi oleh Tan Malaka dkk. Di antaranya yang secara nyata masuk dalam jaringan kekuatan tersebut adalah pasukan Letkol Soepardi dari Brigade Kelaskaran (Brigade XIII) yang menjabat sebagai Staf Politik. Di samping itu satu kompi pasukan dari Mochlas Rowie, yaitu Kompi Hanafi Terpedo. Kesatuan lain adalah dari Brigade XVI, di antaranya pasukan Batalyon Worang dan Batalyon Abdullah yang turut bergerak ke daerah Kawi. Atas prakarsa Tan Malaka kemudian dibentuk Kawi Pact, seperti dikemukakan di atas, yang juga dimaksudkan untuk mengikat unsur-unsur kesatuan yang ada dalam satu ikatan Gerakan Pembela Proklamasi.
Secara ekspansif Gerakan Pembela Proklamasi menuntut seluruh wilayah Gunung Kawi, wilayah Kediri dan Malang untuk diserahkan kepada mereka. Letkol DR. Soedjono sebagai Komandan Brigade IV menolak keras tuntutan itu sebab kekuasaan atas wilayah Komando Militer di Malang adalah dalam tugas pengamanannya. Mochlas Rowie selaku Komandan SWK, telah memperingatkan anak buahnya, Lettu Hanafi, bahwa semua pasukan yang ada di SWK III KMD Malang harus tunduk kepada pimpinan KMD Malang.
Disampaikan juga bahwa tidak ada pemerintah lain selain pemerintah RI, yang sekarang menjelma menjadi pemerintah militer di daerah-daerah. Jadi jika ada pasukan yang mengikuti gerakan tidak sah di luar Republik, mereka itu pemberontak.
Oleh karena itu, diingatkan kepada Komandan Kompi Hanafi dan anak buahnya agar lekas kembali ke kesatuan semula, yaitu di wilayah KMD Malang dan tetap berstatus sebagai tentara RI. Instruksi ini menimbulkan polemik karena Lettu Hanafi setelah menerima instruksi ini, meneruskannya kepada Panglima Besar GPP Sabaruddin. Sabaruddin kemudian mengirimkan surat balasan secara panjang lebar bahwa sebenarnya dialah yang lebih konsekuen membela Republik.
Keberadaan GPP di daerah Malang amat mengganggu konsentrasi TNI reguler di wilayah ini untuk menghadapi pertempuran dengan pasukan Belanda. TNI di wilayah ini menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu pasukan Belanda dan kesatuan-kesatuan GPP. Sabaruddin dan pasukannya yang terdiri dari para narapidana dari penjara Kediri yang telah direhabilitasi oleh Soengkono ternyata lebih banyak mengganggu keamanan dan ketertiban daripada membantu berjuang melawan Belanda.
Walaupun Soekarno-Hatta sudah ditangkap, pada waktu itu TNI tetap berpedoman bahwa pemerintah RI tidak hilang. Selain PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Presiden Mr. Sjafruddin Prawiranegara, kekuasaan di Jawa dipegang oleh Pemerintah Militer Komando Djawa dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dipegang oleh Kolonel Nasution sebagai pemerintah pembela Republik.
Oknum kesatuan Brigade XVI yang masuk GPP telah beberapa kali menyerbu dan melucuti persenjataan TNI reguler Malang. Sebagaimana biasanya, sesudah melakukan penyerangan terhadap pos-pos Belanda, TNI lari ke gunung. Tetapi kesatuan GPP menyerang TNI. Akibatnya terjadi perang saudara, yaitu antara pasukan Brigade IV dan oknum Brigade XVI, meskipun berskala kecil.
Setelah itu anak buah Warrouw dan Sabarudin melakukan aksi-aksi yang dianggap melampaui batas. Mayor Banurejo, Komandan KDM Kediri, diculik dan dibunuh di daerah Kalipare (Malang Selatan). Kompi Tenges dari GPP melucuti satu peleton CPM (Haryono) di desa Kluncing dan satu peleton dari Depot Batalyon (Nailun Hamam). Begitu juga beberapa insiden antara lain, perlucutan senjata kesatuan-kesatuan Brigade IV di daerah Singosari, baik yang dilakukan terhadap pasukan Sumeru maupun pasukan Moergito.
Mochlas Rowie selaku Komandan SWK III mencoba menyelesaikan masalah pelucutan senjata tersebut. Ia dengan berjalan kaki selama dua hari dari markas SWK di Pagak dan menemui sendiri Komandan Brigade XVI di Wlingi. Selanjutnya dicapai persetujuan bahwa senjata-senjata yang sudah dirampas harus dikembalikan sebab sangat dibutuhkan TNI yang sedang menghadapi Belanda. Sebab saat itu pasukan Belanda menguasai jalan-jalan raya antara Surabaya-Malang dan juga Malang-Kediri.
Gerakan yang telah dilakukan oleh Tan Malaka dan kawan-kawannya sebagai gerakan politik dengan menyebarkan berbagai propaganda untuk meluaskan berita adanya GPP dan Negara Proklamasi di luar RI. Secara militer gerakan mereka hanya di gunung-gunung, dan kurang memberikan pukulan terhadap pasukan Belanda, hingga kontribusi yang diberikan GPP terhadap perjuangan nasional ketika itu kurang berarti. Bahkan kehadiran mereka merupakan ancaman dan gangguan stabilitas nasional dan khususnya kawasan Malang.
Gerakan Pembela Proklamasi tidak sempat berkembang karena segera dicapai perjanjian gencatan senjata antara TNI dengan Belanda. Hal terjadi dengan dicapainya persetujuan gencatan senjata antara TNI dengan Belanda. Dengan persetujuan itu semua tentara yang dibentuk (kelaskaran) harus dikonsolidasikan kembali menjadi TNI, seperti pasukan Warrow kembali bergerak secara legal menjadi TNI dan dikirim ke luar Jawa dalam ekspedisi ke Ambon untuk menumpas RMS dengan kekuatan riil dua batalyon yaitu Batalyon Worang dan Batalyon Abdullah.
Panglima Divisi I/Brawijaya Kolonel Soengkono memanggil seluruh Komandan Batalyon di Jawa Timur untuk mengadakan rapat di Desa Gondang, Nganjuk. Kolonel Soengkono sudah mendapatkan laporan tentang kegiatan Sabaruddin, Tan Malaka dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, ia menginstruksikan kepada Polisi Militer untuk menangkap Sabaruddin saat rapat di Nganjuk, kemudian membawanya ke Madiun.
Tetapi di tengah perjalanan Sabaruddin dieksekusi, demikian pula dengan Tan Malaka. Kejadian ini terjadi di tanggal 21 Februari 1949, di lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur yang sebelumnya ia sudah dikabarkan hilang pada 19 Februari 1949. Ia dimakamkan di Desa Selopanggung, Kediri, di atas sebuah nisan dengan penamaan yang seadanya. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno pada 28 Maret 1963 ditetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Sumber: Gerakan Kawi Pact dan Hilangnya Tan Malaka – Nur Hadi dan lain-lain