Maret 27, 2023
?>
Situs Punden Mbah Wareng, Makam Semu Bekas Candi (C) AREMAMEDIA

Situs Punden Mbah Wareng, Makam Semu Bekas Candi (C) AREMAMEDIA

Di Dusun Wareng, Kelurahan Kedungkandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang terdapat sebuah situs yang disebut Punden Mbah Wareng. Situs ini disebut-sebut sebagai makam semu, yang juga diyakini sebagai bekas candi pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa.

Wilayah Dusun Wareng yang masuk Kelurahan Kedungkandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang diduga memiliki sejarah kuno di masa periode Hindu-Buddha. Salah satu alasan kuatnya, dusun ini berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bango dan sebagian wilayahnya dibelah oleh Sungai Wareng, anak Sungai Bango.

Selain itu, di dusun ini ditemukan banyak peninggalan kuno atau artefak yang terkumpul di situs Punden Mbah Wareng. Situs ini terletak di Jalan Abd. Qadir Jaelani No. 10 RT.01/RW.07 Kelurahan Kedungkandang. Situs ini berada di sebuah lahan kosong yang diapit oleh rumah warga dan Masjid Al Irsyaddul Ibad.

Untuk mencapai situs ini Anda dapat menempuh dua jalur. Pertama, Anda bisa lewat Jalan Dirgantara, dan yang kedua bisa melalui Jalan Ranugrati Gang 02 RW.06 Kelurahan Sawojajar. Jalur kedua ini terbilang lebih mudah untuk ditempuh. Dari arah pusat Kota Malang, Anda bisa melalui Jembatan Ranugrati, lalu belok kanan masuk ke dalam Jalan Ranugrati Gang 2 RW.06. Kemudian, lurus saja, sekitar 200 meter, lalu belok kiri, belok kanan, dan sampai pada papan penunjuk jalan bertuliskan Jalan Simp. Ranugrati Sel. III. Lurus saja, sekitar 100 meter, Anda akan sampai ke situs yang dimaksud.

Dilansir dari laman Aremamedia, situs Punden Mbah Wareng ini diduga merupakan bekas reruntuhan candi yang disusun menjadi sebuah makam semu (pseudo makam) dan diberi nisan dengan nama Mbah Wareng. Sosok Mbah Wareng ini yang diduga sebagai orang yang pertama kali babat alas di wilayah tersebut.

Sementara itu, Sejarawan Malang, Suwardono di dalam bukunya berjudul “Kepurbakalaan di Kota Malang: Koleksi Arca dan Prasasti”, tahun 2011, pada halaman 112-113, menyebutkan di dalam situs ini terdapat dua buah yoni dan reruntuhan fragmen bekas candi. Yoni yang pertama ceratnya hilang dengan kondisi tidak terawat dan ditumbuhi banyak lumut. Yoni ini memiliki tinggi 55 cm, panjang 55 cm dan lebar 55 cm. Sementara, yoni kedua kondisinya hampir serupa dengan yoni pertama yang kurang terawat. Yoni yang memiliki tinggi 48 cm, panjang 50 cm dan lebar 48 cm itu tidak memiliki cerat pada sisinya.

Sayangnya, tidak ditemukan Lingga yang seharusnya berpasangan dengan Yoni pada kedua artefak tersebut. Menurut Suwardono dalam bukunya yang lain, berjudul Mengenal Koleksi Benda Cagar Budaya di Kota Malang Seri 02, tahun 2004, pada halaman 41, menjelaskan Yoni selalu berpasangan dengan lingga yang keduanya merupakan sarana untuk pemujaan. Dalam keterangan dari kitab Lingga Purana, lingga adalah gambaran dari kesadaran suci, sedangkan yoni merupakan gambaran dari sumber penciptaan atau ibu dunia.

Sejarawan Malang lainnya, M. Dwi Cahyono, dalam bukunya yang berjudul Wanwacarita: Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Malang, tahun 2013, pada halaman 147-148, mengatakan, selain dua buah yoni tersebut juga terdapat temuan lain berupa antefix atap dengan tinggi 45 cm dan lebar 41 cm dengan kondisi berlumut tebal dan aus. Selain itu, ditemukan pula fragmen arca dewa dari batu andesit, yang tinggal separuh atas dengan kondisi amat aus.

?>