Maret 26, 2023
?>
Kisah Abraham Lapidoth, Pengusaha Hotel Pertama di Malang

Hotel Lapidoth, Hotel Pertama di Malang (C) KTLV

Sebelum berdiri Hotel Palace, yang kelak menjadi cikal bakal Hotel Pelangi, di tanah yang sama sebenarnya sudah lebih dulu berdiri sebuah penginapan bernama Hotel Lapidoth. Hotel tersebut diklaim sebagai hotel pertama di Malang yang didirikan oleh Abraham Lapidoth.

Abraham Chr. Lapidoth diyakini merupakan salah satu generasi awal warga Belanda yang tinggal di Malang. Pada pertengahan 1880-an, segelintir keluarga Belanda dan masyarakat Eropa lainnya bermukim di kota ini. Pada awal abad ke-19, Malang masih merupakan daerah kecil di selatan Kota Surabaya, kota besar di Jawa Timur. Hamparan hutan belantara masih mendominasi sebagian besar kawasan ini. Regentschap atau Kabupaten Malang masih merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan.

Lapidoth yang lahir di Leiden, Belanda pada tahun 1836, diperkirakan menjejakkan kaki di Malang sekitar tahun 1860-an. Tak lama setelah itu, ia diperkirakan mendirikan sebuah tempat penginapan. Bisnis penginapan ini terbilang sebuah inovasi baru, di mana belum ada di Malang sebelumnya. Lapidoth memilih lokasi tak jauh dari kantor Bupati Malang, yang kelak disulap pemerintah Belanda menjadi gedung Societiet Concordia (sekarang menjadi Sarinah Plasa).

Banyak yang menyebut Lapidoth sebagai pengusaha penginapan pertama di Malang. Penginapan yang didirikannya itu kemudian populer dengan sebutan Hotel Lapidoth. Saat itu penyebutan nama hotel umumnya merujuk pada nama sang pemilik.

Kala itu, suasana di Hotel Lapidoth sendiri tampak asri. Selain suasana Malang yang dulu masih dingin, udara segar khas pegunungan menyelimuti hotel. Di depan hotal itu juga berdiri deretan pohon beringin besar, tepatnya di sebelah selatan Alun-alun Malang.

“Dia adalah bapak perhotelan, pengusaha perhotelan terkenal di Malang,” tulis A. Van Schaik dalam Malang Beeld van een stad terbitan Asia Maior pada 1996.

Pada tahun 1870, Hotel Lapidoth berganti nama menjadi Hotel Malang. Daerah Malang sendiri waktu itu semakin berkembang menjadi salah satu pusat perkebunan kopi dan gula. Tak heran jika semakin banyak masyarakat Eropa, khususnya Belanda yang datang ke Malang.

Bangunan Hotel Malang memiliki arsitektur bergaya landhuizen. Ada pula yang menyebut gaya Indis, yang merupakan perpaduan bangunan rumah Belanda dengan rumah pribumi Jawa. Gaya arsitektur tersebut memang sedang populer di masa itu.

“Gaya bangunan landhuis bersifat simetris dengan ruang tengah sebagai pusat kegiatan dan beratap cungkup,” tulis Achmad Sunjayadi dalam artikelnya Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes.

Pada awal 1900-an, Hotel Malang kembali berganti nama, kali ini menjadi Hotel Jensen, dengan menawarkan 50 kamar. Hotel ini dinilai cukup mewakili wajah perhotelan di Malang yang sedang menggeliat iklim industrinya, seperti yang disebutkan dalam Kroniek der Stadsgemeente Malang 1914-1939.

Abraham Lapidoth meninggal tak lama setelah hotel itu berganti nama menjadi Hotel Jensen, tepatnya pada tahun 1908. Bisnis penginapannya pun sempat hancur, hingga akhirnya hotelnya harus dijual pada tahun 1915.

Sang pemilik anyar rupanya berkeinginan mendirikan bangunan hotel yang sama sekali berbeda dengan bangunan lawas milik Lapidoth. Ia pun merombak total bangunan, menghapus nama Hotel Jensen, dan membangun ulang bangunan hotel tersebut. Pengerjaan bangunan anyar itu digarap oleh Biro Arsitek AIA (Algemeen Ingenieur Architecten) Belanda. Setelah jadi, nama hotel pun diubah menjadi Hotel Palace.

Hotel Palace disebut-sebut sebagai sebuah hotel bertaraf internasional kala itu. Terdapay sebuah menara kembar yang menjulang tinggi di bagian tengah bangunan utama. Menara itu berfungsi seperti menara pengawas. Terdapat pula bangunan dua blok di sisi kanan dan kiri yang menjorok ke depan bangunan utama.

“Menara kembar pada pintu masuk terlihat mendominasi, tampaknya ciri itu merupakan bentuk yang khas arsiektur kolonial pada tahun 1900-1915,” tulis Handinoto dalam Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940) di Jurnal Dimensi 22/September 1996.

Nama hotel sempat diubah menjadi Hotel Asoma pada saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942-1945. Namun, ketika Jepang pergi, nama Hotel Palace kembali digunakan. Setelah menjadi salah satu korban taktik bumi hangus yang dilancarkan pasukan Republik Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, masa kejayaan hotel ini mulai surut. Kepemilikan hotel ini pun sempat berpindah tangan kepada seorang pengusaha asal Banjarmasin, Sjachran Hosein pada tahun 1953. Sejak tahun 1964, hotel ini berubah nama menjadi Hotel Pelangi, hingga kini dijalankan oleh generasi kedua dari keluarga Sjachran Hosein.

?>