
Gapura Astana Karaeng Galesong
Astana Karaeng Galesong merupakan makam seorang pejuang Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan. Dikisahkan semasa hidupnya, Karaeng Galesong melakukan perlawanan di laut dengan gigih melawan penjajah Belanda saat VOC masih berkuasa, hingga akhirnya ‘terdampar’ di Malang.
Sejatinya, Karaeng Galesong yang bernama lengkap I Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong adalah seorang laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa. Galesong diyakini merupakan seorang pangeran putra dari Sultan Hasanuddin yang lahir dari rahim permaisurinya yang ke-4. Ia terus melakukan peperangan di laut melawan VOC, bahkan setelah Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya.
Dikatakan dalam dokumem Lontara, setelah kekalahan Kerajaan Gowa dari VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Bone, yang ditandai dengan adanya Perjanjian Bongaya, Karaeng Galesong berpendapat, “Yang menyerah hanya Raja Gowa, itu tidak berarti peperangan harus berakhir”.
Maka, Galesong bersama rekannya, Karaeng Bontomarannu masih terus berjuang. Mereka berperang di laut, terutama di sekitar perairan Pulau Jawa. Mereka bergabung dengan pasukan Pangeran Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa yang juga melakukan pemberontakan pada VOC. Saat terdesak dan mengalami kekalahan, bersama Trunojoyo, Karaeng Galesong pun lari ke dataran yang lebih tinggi, yakni di kawasan Ngantang, Kabupaten Malang.
Singkat cerita, Karaeng Galesong meninggal karena sakit di kala pelariannya ke Malang, tepatnya pada 21 November 1679, sebelum Trunojoyo akhirnya tertangap dan dibunuh VOC. Sama halnya dengan Trunojoyo, Galesong pun dimakamkan di Ngantang, sebuah daerah di kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang berhawa sejuk.
Kompleks pemakaman Galesong yang dikenal dengan nama Astana Karaeng Galesong ini cukup asri. Luasnya sekitar seratus meter persegi, dan dikelilingi oleh beberapa pohon kamboja tua. Suasana kompleks pemakaman juga nampak sunyi. Hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan beberapa batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang juga sudah berlumut. Makam ini diyakini merupakan kerabat Karaeng Galesong.
Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan yang terbuat dari marmer yang tampak belum begitu lama dipasang. Di bawah gundukan tanah itulah jasad Karaeng Galesong dikebumikan. Makam yang ditata dengan tumpukan batu bata tua itu juga berlumut seperti makam lainnya. Di dekatnya berdiri tiang setinggi sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera itu terdapat sebuah papan bertuliskan kata “Pejuang”. Sementara itu, pada batu marmer di makam itu, terukir tulisan Arab berwarna emas, yang terjemahan bebasnya berarti, “Di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah”. Di bawah batu marmer ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri mereka “Warga Malang keturunan Galesong”.
Makam Karaeng galesong ini menjadi simbol kepahlawanan rakyat Bugis terhadap penjajah. Keberadaan makam ini pula menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Bugis, Makassar yang memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Makam ini juga sering dikunjungi para muslim Bugis dan warga keturunan Makassar di Malang dan sekitarnya. Seperti yang dilakukan masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS Malang Raya) dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi-Selatan (IKAMI Sul-Sel Cabang Malang). Bahkan, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pun pernah berziarah ke Astana Karaeng Galesong pada tahun 2013 silam.