
Desa Arjosari tempat pecahnya Pertempuran Arjosari antara PGI melawan Belanda
Dahsyatnya Pertempuran Arjosari, Antara PGI Melawan Belanda
Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) sempat terlibat beberapa pertempuran dahsyat di Malang selatan. Salah satunya pertempuran Arjosari, Wajak, tak jauh dari Magurosari (sekarang Magersari), pangkalan pasukan khusus TNI yang beranggotakan para pejuang bekas tentara Jepang tersebut. Berikut ceritanya yang dikisahkan oleh Rahmat (Shigeru Ono) dan Sukardi (N. Sugiyama) dalam buku Perjuangan Total Brigade IV.
Setelah berhasil menghadang pasukan Belanda yang bergerak dari arah Turen ke Wajak, pasukan PGI mundur teratur ke pangkalan di Magurosari. Namun, bersamaan dengan itu terdengar kabar dari seorang pemuda yang datang dari arah Pandansari yang mengatakan bahwa Belanda dari pos Wajak pagi-pagi benar telah berangkat melewati Pandansari lalu turun ke jurang menuju ke arah pangkalan PGI di Magurosari. PGI sangat mempercayai pemuda tersebut karena ia pernah ikut berjuang di Poncokusumo.
Pasukan PGI pun mengambil langkah penting dengan memperlambat gerakan ke Magurosari dengan tujuan agar tidah berpapasan dengan pasukan Belanda. Seorang mata-mata dikirim ke lokasi yang lebih tinggi dari kemungkinan posisi lawan untuk memantau situasi. Taktik perang di masa itu memang demikian, barang siapa yang menempatkan kedudukan berada di atas senantiasa lebih menguntungkan daripada yang berada di bawahnya.
Pasukan PGI kemudian naik lagi ke gunung lalu turun ke kampung. Pada waktu mendaki gunung yang agak tinggi, dari atas ada warga kampung yang mengatakan bahwa Belanda bersama-sama dengan Belanda Ambon (orang-orang Ambon yang menjadi pasukan Belanda/KNIL) sedang bergerak menuju ke Magurosari. Sepanjang perjalakan mereka sering menanyakan kepada warga di mana kedudukan pasukan tentara yang dipimpin oleh orang-orang Jepang.
Dengan adanya kabar masuknya Belanda ke Magurosari, artinya kedudukan Belanda di atas pasukan PGI. Karenanya, seluruh pasukan PGI segera berpindah ke sebelah gunung dengan sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat oleh Belanda. Mereka bergerak menuju kampung Bobon yang berada di sebelah gunung. Sampai di seberang gunung, kampung Bobon yang letaknya bersebelahan dan posisinya lebih tinggi daripada kampung Magurosari sudah gelap menjelang malam hari.
Karena ada kabar malam itu Belanda menginap di Magurosari, maka komandan PGI memerintahkan agar pasukannya bermalam di Bobon. Keesokan harinya, ketika masih dalam keadaan gelap gulita pasukan PGI bergerak ke atas, dengan posisi siaga karena dikhawatirkan ada serangan dari pihak Belanda.
Pada tanggal 3 Januari 1949 sekitar pukul 4.30, pasukan PGI dengan kekuatan 36 tentara telah siap diberangkatkan kembali. Kali ini mereka harus melewati jurang menuju kampung Arjosari. Dari situ, dengan bergerak cepat, mereka akan dapat menempatkan diri di sebelah timur kampung Arjosari. Ternyata perhitungan itu sangat tepat, sehingga mereka sampai terlebih dahulu di bagian timur Arjosari. Di daerah itu terdapat banyak kebun jagung yang tingginya rata-rata baru satu meter, dan masih terlihat tanahnya di sana sini.
Pada saat PGI akan menaiki gunung, seorang prajurit tiba-tiba berteriak, “Ada musuh!” Sontak semua kaget dan bersiap di posisi masing-masing. Tampak dari arah atas gunung ternyata pasukan Belanda sedang turun sambil melebarkan pasukannya. Waktu itu terlihat ujung pasukan musuh hanya berjarak sekitar 20 meter dari atas barisan karaben pasukan PGI.
Kejadian itu sama sekali tidak terduga oleh PGI. Mereka pun menduga pihak musuh pun tidak menduga akan bersua dengan pasukan PGI dalam jarak yang sangat dekat. Memang di antara kedua pasukan itu terdapat gundukan tanah, tetapi tidak banyak. Umar yang memegang senapan mesin melihat ada musuh dalam jarak 40 meter, dan langsung siap menembak sambil menyelidiki keadaan musuh yang sebenarnya. Sementara itu di bagian belakang Sukardi yang memegang Juuki Kanjue (senapan mesin berat) juga sudah siap membantu.
Kontur tanah di daerah itu tampak berbergelombang, sehingga pasukan PGI harus selalu dalam posisi tiarap agar musuh penasaran. Pasukan Belanda yang ingin mengetahui posisi PGI pasti melongok terlebih dahulu. Dari bawah, posisi PGI terlihat setinggi setengah badan. Pada saat musuh melongok, itulah kesempatan mereka untuk segera menembaki tentara Belanda dengan secepat kilat. Umar selalu memulai menembak lebih dahulu, disusul dengan tembakan juuki Sukardi ke arah lawan. Situasi seperti ini memaksa Belanda berhati-hati, dan tampak penuh keragu-raguan tentang kekuatan PGI.
Tak mau berdiam diri, pihak Belanda balas menembak dengan juuki mesin dan mortir, ditambah dengan lemparan-lemparan granat. Suasana semakin ramai dengan diwarnai suara tembakan. Kadang, terdengar pula gelegar suara ledakan granat yang masuk ke arah jurang. Selain itu juga terdengar ledakan lebih keras seperti ledakan bom.
Sayangnya, senapan mesin Umar sering macet ketika dipakai, tiba-tiba berhenti karena panas. Sukardi dengan sangat tangkas dan cekatan menyambung tembakan Umar yang putus-putus. Gencarnya tembakan juuki Sukardi membuat Belanda tak dapat bergerak leluasa.
Tembak-menembak itu terbilang berimbang, lantaran kedua belah pihak sama-sama tidak banyak menemui sasaran lantaran terlalu sulitnya medan. Bahkan, perang yang terjadi seolah-olah hanyalah perang bunyi, karena peluru yang tak menemui sasaran justru berserakan. Medan yang berbukit-bukit kecil menjadi salah satu penyebabnya. Belanda dari atas yang menembaki PGI yang berada di celah-celah tanah sama halnya membidik sasaran yang berada dalam lubang atau dalam jurang.
Sementara itu, seorang prajurit meminta karaben yang dipegang sang komandan PGI, Abdul Rahman (Tatsuo Ichiki). Sukardi kemudian memanggil Abdul Rahman yang memegang pedang di tangannya, untuk berunding mengenai nasib pasukannya. Situasi membuat pasukan PGI terdesak, dan makin mengkhawatirkan karena tidak ada jawaban dari Abdul Rahman. Sementara itu, pasukan Belanda sedikit demi sedikit terus maju, mengepung juuki Sukardi. Peluru-peluru musuh yang ditembakkan ke arah Sukardi makin dekat, padahal persediaan peluru PGI saat itu makin menipis. Karena khawatir kehabisan peluru, Sukardi berpikir untuk melakukan pengunduran atau pemindahan tempat.
Tanpa Abdul Rahman, Sukardi memutuskan untuk mengumpulkan seluruh pasukan dan harus segera memindahkannya ke sebelah timur jurang. Posisi itu dirasa aman, karena bila itu dilakukan, mereka tidak akan terlihat atau tidak mudah diketahui musuh. Karena juuki Sukardi yang paling dekat dengan pasukan Belanda, maka ia diperintahkan untuk mundur terlebih dahulu. Sementara Umar terus melindungi Sukardi dan pasukan yang lainnya dengan tembakan-tembakan ke arah musuh hingga semua pasukan mundur.
Sukardi dan Hidayat bersama dengan juukinya telah turun ke jurang, kemudian disusul Tekidanto Subejo. Terakhir, Umar menaikkan senapan mesinnya ke kaki kiri untuk melakukan tembakan melindungi diri. Ia sedikit demi sedikit turun ke jurang.
Untuk diketahui, ternyata jurang itu merupakan jurang yang paling dalam di wilayah Semeru Selatan, dalamnya kira-kira 50-60 meter dari bidang datarnya. Ada sungai dengan air yang jernih dan dingin di bawah jurang tersebut.
Sukardi telah berada di jurang pada bidang seberang dan segera mencari tempat yang strategis untuk memulai penembakan kembali. Sementara Umar dan Saleh segera menyusul. Setelah semuanya sampai di atas jurang, sempat terdengar suara kapal terbang Belanda. Untunglah semua pasukan PGI sudah terlindung oleh pohon-pohon yang rindang sehingga tidak mudah terdeteksi kapal terbang Belanda dari atas.
Pasukan PGI kemudian meneruskan perjalanan melintasi dua jurang di sebelah timur untuk menjauhi musuh, hingga mereka sampai di kampung Sumberagung. Di kampung ini, pasukan hanya tidur-tiduran dan beristirahat melepaskan lelah. Selang beberapa saat kemudian, tiga orang pasukan bagian karaben tiba dalam keadaan benar-benar sangat payah. Mereka datang tanpa sang komandan, Abdul Rahman dan Abdul Majit. Keberadaan keduannya masih menjadi pertanyaan besar di benak pasukan PGI usai Pertempuran Arjosari itu.